Analisa Hukum Hadits Maqbul dan Mardud

Almursi – Para ulama sepakat bahwa yang bisa dijadikan landasan adalah al-Qur’an dan Hadits.

Orang yang menolak hadits secara muthlaq tidak ditopang dengan alasan yang kuat. Karenanya hadits tetap dapat menjadi hujjah dalam penetapan hukum.

Dari semua jenis hadits yang ada, tidak semua bisa dijadikan pedoman.

Ada beberapa aspek yang patut dipertimbangkan, agar otentitasnya terutama yang berkaitan dengan hukum dapat benar-benar dipertanggung-jawabkan.

Karena itu, lahirnya ilmu hadits memberikan solusi untuk memilah mana yang dapat dijadikan hujjah.

Kriteria hadits maqbul, yang ditetapkan ulama, berguna mendatangkan keteguhan hati bahwa yang diberitakan benar-benar adalah hadits Rasul.

Karena itu, muncul berbagai macam pemikiran guna menyaring semua berita yang diterima.

Baca juga:

Istilah-Istilah hadits
Daftar lengkap kuantitas dan kualitas hadits
Cara menganalisa kontradiksi hadits dalam menggali hukum Islam

Hadits Maqbul

Para ulama hadits menyebut beberapa syarat diterimanya (maqbul) suatu hadits.

Diantara mereka, ada yang menelaah kredibilitas dan keagaamaan rawi, meneliti realitas sanad, akhlak dan prilaku periwayat hadits, dan lain sebagainya.

Agar hadits yang mereka peroleh diduga kuat datang dari Rasul, ditetapkanlah syarat-syarat yang terangkum dalam tiga hal berikut: keadilan rawi, sanadnya bersambung, dan mampu menjaga hadits.[1]

Syarat-syarat tersebut menurut mereka masih tidak cukup, sebab masih perlu dilakukan perbandingan dengan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan hadits lain.

Serta masih membutuhkan proses telaah lebih lanjut apakah terdapat pertentangan dengan nash lainnya.

Untuk lebih jelasnya, saya terangkan syarat-syarat yang dianggap penting. Di antaranya adalah sifat adil rawi itu sendiri.

Keadilan Rawi

Sifat ini, dalam ilmu hadits, adalah sifat mulia yang sekiranya dapat mengantarkan seseorang untuk selalu berkata jujur, dan meraih keteguhan dalam menukil hadits.[2]

Karenanya, hal pokok yang menjadikan seseorang rawi dianggap adil yaitu bila ia telah mencapai hâl al-ada’.[3]

hâl al-ada’ yaitu keadan dimana seseorang diperkenankan menerima sekaligus meriwayatkan kembali.

Sedang bila hanya diperkenankan mendengarkan hadits namun tidak diperkenankan meriwayatkannya disebut hâl al-tahammul.

Untuk mencapai hâl al-ada’ tentunya orang tersebut harus Islam, baligh, adil, dan dhabit.

Dengan kata lain, seorang dianggap tidak adil jika ia bukan mukallaf, kafir, fasiq, dan pelaku bid’ah.

Fasiq maksudnya selalu melakukan maksiat atau melakukan dosa besar.

Sedang pelaku dosa kecil tidak dianggap fasik kecuali bila ia melakukannya secara terus menerus yang akhirnya menunjukkan pada keburukan akhlak.

Tidak hanya itu, seseorang dikategorikan tidak adil bila sering melakukan hal-hal yang dibenci/makruh yang sekiranya mengindikasikan pada rusaknya budi pekerti. Meskipun perbuatan tersebut pada hakikatnya bukan maksiat.

Seperti menemani orang-orang yang hina dan beramin-main sesuatu yang tidak baik.[4]

Bid’ah yang dibicarakan di sini dipilah menjadi dua.

Pertama, bid’ah mukaffirah, yaitu bid’ah menjadikan seseorang kufur, seperti menganggap ketuhanan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian golongan Syi’ah, bila demikian maka haditsnya ditolak.

Kedua, bid’ah mufassiqah yang menjadikan pelakunya dianggap fasik. Bid’ah seperti ini terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

  • Pelaku bid’ah mufassiqah yang membenci dan mengharamkan perilaku dusta. Maka haditsnya bisa diterima, seperti yang terjadi pada orang Khawarij yang haditsnya diterima oleh Imam Bukhari.
  • Pelaku bid’ah mufassiqah yang memperkenankan atau sering melakukan dusta. Maka haditsnya ditolak.
  • Pelaku bid’ah mufassiqah yang mengharamkan dusta, akan tetapi bila dilakukan untuk membela golongannya, mereka justru memperkenankan perbuatan tersebut, seperti yang seringkali terjadi pada orang-orang Syi’ah, maka dalam hal ini yang lebih baik adalah hadits mereka tetap ditolak.[5]

Ada tiga kategori terkait dengan adil tidaknya seorang rawi.

Pertama, rawi yang sifat adilnya diketahui dengan jelas melalui cara-cara tertentu.[6]

Karena itu, riwayatnya tergolong maqbul jika dibarengi dengan syarat-syarat hadits shahih lainnya.

Kedua, rawi yang diketahui tidak memiliki sifat adil dengan jelas. Oleh sebab itu, haditsnya mardud.

Ketiga, rawi yang tidak diketahui keberadaan dan sifat adilnya. kategori ketiga ini mengandung dua kemungkinan, yaitu:

  • Kemungkinan peratama, rawinya tertera dalam sanad, akan tetapi tidak diketahui keberadaannya, keadaan ini disebut dengan majhul al-‘aini, dan haditsnya ditolak.
  • Kemungkinan kedua, diketahui keberadaannya, akan tetapi tidak diketahui sifat adilnya. Kategori ini dinamakan majhul al-hâl. Sedang maqbul tidaknya hadits ini, terdapat dua pendapat. Menurut imam Abu Hanifah, haditsnya diterima. Sedang menurut kebanyakan pakar hadits, haditsnya ditolak.[7]

Mundhabit

Syarat lain yang juga sangat penting adalah mundhabit.

Untuk lebih jelasnya, mundhabit diartikan sebagai realitas rawi yang menguasai dengan baik apa yang dia riwayatkan.

Karenanya, dia disebut mundhabit bila dapat menyebutkan kemabali dengan benar terhadap hadits yang diperolehnya.

Tidak hanya itu, dia juga harus benar-benar memahami makna riwayat yang dia dapat, terhindar dari kekeliruan baik dari segi hapalan maupun tulisan.[8]

Ada tiga kategori terkait dengan dhabit tidaknya seorang rawi.

Pertama, orang yang kuat hapalannya, jelas/benar catatan haditsnya, serta sangat memahami riwayat yang dia terima, haditsnya tidak tercemar atau tidak berubah meski dia terima dalam tempo waktu yang cukup lama, ataupun dibarengi dengan hapalan yang banyak.

Seperti Imam Bukhari, Malik, dan al-Zuhri. Karena itu mereka disebut sebagai ahli al-dhabthi atau ahli al-itqan. Riwayat mereka tergolong shahih.

Kedua, rawi yang banyak mengalami kekeliruan terhadap apa yang dia riwayatkan, pelupa, lemah ingatannya atau tidak yakin terhadap riwayatnya.

Karena itu, hadits yang ia riwayatkan tergolong dha’if yang tertolak (mardud).

Berbeda bila daya ingatnya lemah, akan tetapi haditsnya memiliki kesamaan makna dengan  hadits-hadits lain yang maqbul. Dalam hal ini, haditsnya disebut sebagai hadits hasan lighairihi.

Ketiga, adalah posisi tengah, dimana daya ingat rawi tergolong cukup, akan tetapi kadang-kadang mengalami kekeliruan, atau lupa terhadap apa yang dia riwayatkan. Oleh sebab itu, haditsnya disebut sebagai hadidts hasan. Namun bila haditsnya didukung oleh banyak riwayat lain yang satu makna, maka haditsnya disebut sebagai shahih li gairihi.[9]  

Rawi yang memahami kandungan makna suatu hadits adakalanya meriwayatkan dalam segi makna belaka, dan adakalanya meriwayatkan sekaligus berikut lafadz yang ia terima dari rawi sebelumnya.

Yang menjadi perhatian diantara dua kemungkinan tadi adalah riwayat yang hanya dalam bentuk makna.

Jumhur ulama memperkenankan periwayatan hadits model seperti ini, akan tetapi mereka masih memberikan batasan atau syarat-syarat tertentu.

Diantaranya adalah rawi yang dimaksud menguasai bahasa arab dengan baik, mampu memahami arti-arti bahasa yang sangat samar, yakin terhadap kandungan makna hadits yang dia riwayatkan, dan makna lafadz hadits yang dia dinukil tidak lebih samar atau tidak lebih jelas dari pada lafadz asli dari hadits Nabi yang bersangkutan.[10]

Pada dasarnya, unsur maqbulnya suatu hadits tidak bertumpu pada jumlah rawi yang meriwayatkan, akan tetapi bertumpu pada aspek kualitas hadits tersebut yang memang dapat diterima.[11]

Kriteria hadits tersebut sebenarnya mengarah pada keyakinan atau diduga kuat datang dari Rasul.

Untuk meraih prospek ini, maka kemudian realitas rawi ditilik. Caranya dengan melihat realita hidupnya yang dianggap shalih, kuat menjaga hadits, pandai menjaga diri, dan lain sebagainya.

Dengan memandang realitas tersebut, timbul suatu keyakinan bahwa dia tak mungkin berdusta dalam mengeluarkan hadits. Dan yakin bahwa riwayatnya benar-benar sabda Rasul.

Hal lain yang menjadikan hadits diyakini berasal dari rasul adalah jika diriwayatkan oleh orang banyak. Namun sekali lagi, kuantitas rawi tidak menjadi ukuran pasti sebagai syarat maqbulnya hadits.

Kualitas rawi sangat mempengaruhi terhadap kualitas hadits yang dia sampaikan.

Riwayatnya menjadi maqbul dengan catatan bila dia adalah orang Islam, mukallaf, adil, dan dhabit.

Riwayat non-muslim, meski dia adalah orang yang banyak berjasa dan sangat jujur, tetap mardud.

Disyaratkannya mukallaf menggambarkan bahwa orang yang belum baligh hanya boleh menerima hadits, namun tidak diperkenankan menyampaikan kembali hadits yang dia terima kepada orang lain, kecuali bila ia telah baligh.

Persyaratan baligh merupakan keharusan sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Abbas, Hasan dan Husain, Abdullah bin Ja’far, dan banyak lagi yang lainnya.

Keadilan rawi menunjukan bahwa ia selalu eksis dalam ketaqwaan dan menjaga muru’ah. Sehingaga sikapnya tersebut mengantarkan dirinya sebagai rawi yang dianggap jujur dan benar.

Maksud dari dhabit secara singkat adalah kekeliruan dan kesalahan dalam meriwayatkan hadits hanya sedikit sekali terjadi.[12]

Dari sekian penjabaran di atas, hadits yang tergolong maqbul dan dapat dijadikan hujjah adalah hadits mutwattir, shahih dan hasan. Sedang yang ditolak adalah hadits dha’if.

Ada satu lagi yang masih diperbincangkan, yaitu hadits ahad.

Mengenai hadits ini, ulama telah memeberikan batasan tertentu jika memang ingin diterima sebagai hujjah.

Meski faktanya, hadits ahad mencakup pada hadits shahih, hasan, dan dha’if.

Tidak semua yang menjadi bagian dari hadits ahad tergolong maqbul.

Diantara syarat yang mereka berikan yaitu adilnya rawi, mampu menjaga hadits, sanadnya bersambung, tanpa cacat dan tidak bertentangan dengan hadits yang lebih unggul.

Dengan kriteria itu, hadits ahad dimungkinkan dapat menimbulkan keteguhan hati.[13]

Ketentuan ini masih dilengkapi dengan persyaratan jelasnya rawi. Artinya, bila dalam sanad terdapat rawi yang tidak diketahui keberadaannya, tidak jelas keislaman, dhabit, baligh, dan sifat adilnya, maka hadits yang bersangkutan digolongkan mardud.[14]

Hadits Mardud

Mengenai hadits mardud, para ulama hadits secara umum menyebutnya dengan hadits dha’if.[15]

Menanggapi kehujjahan hadits ini, ternyata pendapat mereka terpecah menjadi tiga.

Pertama, hadits dha’if tidak boleh diamalakan secara muthlak, baik dalam fadha’il al-amal maupun dalam masalah hukum.

Kedua, menganggapnya bisa diamalkan secara muthlaq.

Ketiga, hadits tersebut bisa digunakan hanya dalam aspek fadha’il al-amal dan nasihat-nasihat, hanya saja harus memenuhi persyaratan.

Persyaratan tersebut diantaranya adalah:

  1. Tidak terlalu dha’if.
  2. Telah banyak diamalkan oleh umat Islam.
  3. Ketika mengamalkan, seseorang tidak boleh menganggap haditsnya pasti datang dari rasul. Melainkan diamalkan atas dasar ikhtiyat atau kehati-hatian.[16]

Senada dengan pandangan yang ketiga, Mahmud Thahan menandaskan bahwa pendapat terakhir dipegang oleh jumhur ulama.[17]

Meski hadits dhaif ini tidak bisa dijadikan hujjah penetapan hukum, ia tetap dapat diperkenankan untuk diriwayatkan.

Ada beberapa sebab mengapa hadits dhaif perlu dilestarikan.

Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan alasan-alasan logis yang diantaranya:

  • Agar hadits tersebut diketahui orang banyak, serta dapat dijelaskan kepada mereka tentang kelemahan-kelemahannya.
  • Guna mengambil pelajaran dari kandungan isi haditsnya, dan bisa menajadi kesaksian terhadap hadits-hadits lain.
  • Bisa jadi rawi yang dianggap lemah dapat meriwayatkan hadits yang shahih. Karenanya, ia tetap bisa dipertimbangkan dan hadits-hadits riwayatnya dipilah layak tidaknya.
  • Sebagai upaya untuk meningkatkan potensi diri dalam ibadah, akhlak, dan amaliyah yang baik lainnya.[18]

Imam Taqiyudin ibnu Tai’miyah lebih mengunggulkan hadits dhaif dari pada rasio dalam menghadapi realita.

Dengan catatan, hadits tersebut bukan merupakan hadits yang diabaikan.

Menurutnya, tujuan utama kecondongan ini tidak lain adalah untuk mencapai kebaikan dan keutamaan.

Beliau juga membagi hadits dhaif menjadi dua yaitu yang matruk (yang diabaikan) dan ghairu matruk (yang tidak boleh diabaikan).

Sehingga dapat dipahami, bila hadits dhaif yang matruk bertentangan dengan rasio, maka rasiolah yang dimenangkan.[19]

Hadits dha’if bisa dipakai selama tidak membahas perkara halal dan haram atau kewajiban dan larangan yang menunjukan keharaman.

Artinya bila hadits tersebut membahas persoalan ini, maka harus diabaikan apa adanya.

Berbeda jika membahas persoalan yang mubah, atau sebagai anjuran yang tidak pasti (harus). Hadits ini bisa menjadi referensi.

Dalam penggunaan hadits sebagai fadhail al-amal, bila terdapat hadits dha’if yang masing-masing menunjukan hal yang haram dan istihab (boleh) secara bersamaan, maka hadits tersebut harus diabaikan semua.

Bila terjadi kontradiksi hukum antara mubah dan makruh. Dalam hal ini, diambil kebijakan memilih hadits yang lebih kuat.[20]

Kesimpulan

Berdasarkan kriteria yang diberikan oleh para pakar hadits di atas, dapat dipahami, ada tiga kategori hadits yang perlu diketahui dalam penetapan hukum.

Pertama, hadits yang benar-benar dapat dijadikan hujjah, hadits ini disebut juga sebagai hadits maqbul.

Kedua, hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, atau secara kasar disebut sebagai hadits mardud,

Ketiga, hadits yang dapat menjadi hujjah, namun harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Wallahu A’lam.

 

______________

Referensi:

[1] Abdul Mahdi, al-Madkhal Ila al-Sunnah al-Nabawiyah, (Kairo: Dâru al-I’tisham, 2000), hal. 300.
[2] Muhammad Sulaiman Abdullah, al-Wadih fi Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâru al-Salam, 2007), hal. 112.
[3] Muhammad ‘Azaz Khatib, Ushûl al-Hadits, (Bairut: Dāru al-Fiqr, 1979), hal. 227-232.
[4] Muhammad Sulaiman Abdullah, al-Wadih fi Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâru al-Salam, 2007), hal. 113.
[5] Ibid.
[6] Untul mengetahui adil tidaknya rawi serta hal-hal lain terkait dengan rawi yang sekiranya mempengaruhi terhadap hadits yang dia riwayatkan adalah melalui suatu metode yang disebut al-jarhu wa al-ta’dil.
[7] Ibid, hal. 114.
[8] Ibid, hal. 115.
[9] Ibid, hal. 116.
[10] Muhammad al-Amin, Mudzakirah fi Ushŭl al-Fiqh, (Kairo: Darû al-Ulum wa al-Hukm, 2004), hal. 133-134.
[11] Ibid, hal. 280
[12] Muhammad al-Amin, Mudzakirah fi al-Ushŭl al-Fiqh, (Suriah: Darû al-Ulûm wa al-Hukm, 2004), hal. 108-110.
[13] Abdul Mahdi, al-Madkhal Ila al-Sunnah al-Nabawiyah, (Kairo: Dâru al-I’tisham, 2000), hal. 300.
[14] Ibid, hal. 112-113.
[15] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, (Surabaya, al-Hidayah, tt), hal. 62.
[16] Muhammad ‘Azaz al-Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 351.
[17] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, hal. 65.
[18] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaidu al-Tahdits, (Kairo: Dâru al-Aqidah, 2004), hal. 114.
[19] Ibid. hal 118.
[20] Ibid. hal. 119.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *