Biografi Lengkap Imam Syafi’i (Rihlah, Studi, Karir, Karya)

Di jazirah Arab, tepatnya di wilayah Ghazza, Palestina, tahun 150 Hijriyah lahir seorang keturunan bangsawan Arab yang bernama Muhammad bin Idris yang terkenal dengan julukan Imam Syafi’i. Bertepatan dengan hari di mana, imam besar fiqih Iraq, Imam Abu Hanifah wafat. Ayahnya adalah orang asli bangsa Quraisy dan ibunya berasal dari Yaman.

Sumber utama mengenai kelahiran dan rihlah Imam Syafi’i dalam artikel ini adalah karya Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzâhib al-Islamiyah, (Kairo: Dâru al-Fiqr, 1996), hal. 424-464.

Beliau masih satu rumpun dengan silsilah nenek moyang Nabi Muhammad S.A.W. Garis nenek moyangnya ke atas, bila disebutkan secara lengkap, yaitu Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdi Manaf.

Muthalib sendiri tidak lain adalah kakek dari Nabi Muhammad S.A.W. Sedang ibunya  berasal dari kabilah al-Azd, satu kabilah yang mashur di Yaman, sayangnya tidak dijumpai data yang menyebutkan tentang siapa namanya.

Sebelum beliau lahir, keluarganya telah berpindah ke Palestina karena beberapa keperluan. Di samping itu, ayahnya terlibat dalam angkatan bersenjata yang ditugaskan untuk mengawasi wilayah perbatasan di sana.

Di saat beliau masih buaian, ayahnya wafat dan tidak ada lagi yang menanggung pembiayaan keluarga, sehingga dia hidup dalam keadaan miskin.

Meski demikian, saat di Ghazzah, Palestina, ibunya memberikan perhatian penuh terutama dalam bidang pendidikan. Berkat dukungan ini, tepat pada tahun ketujuh pasca kelahiran, beliau telah hafal al-Qur’an.

Rihlah ke Makkah

Ketika usianya semakin bertambah, sang ibu sangat hawatir jika nasab Imam Syafi’i yang cukup mulia tersia-siakan. Karenanya mereka pindah ke Makkah.

Kepindahan ini tidak lain bertujuan agar Imam Syafi’i dapat mendalami ilmu pengetahuan sekaligus menjaga kehormatan silsilah nasabnya. Dan kota Makkah saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan.

Pada masa Imam Syafi’i, ada beberapa kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Banyak dari kalangan sahabat yang dahulunya menetap sebagai utusan untuk mengajar syariat Islam sekaligus meriwayatkan hadits yang telah mereka peroleh.

Kota-kota yang dimaksud adalah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Yaman, Jordan, dan Khurasan. Lihat karya Muhammad ‘Azaz Khatib, Ushûl al-Hadits, (Bairut: Dāru al-Fiqr, 1979), hal.116-126.

Dalam satu riwayat disebutkan, ketika menginjakkan kaki di Makkah, usia Imam Syafi’i berumur 10 tahun.

Dalam literatur lain disebutkan bahwa pengembaraan beliau bermula sejak berumur dua tahun (152 H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya Ghazzah, Palestina ke kota Makkah dan tinggal berdampingan dengan sanak saudaranya di sana.

Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap, karena beliau diantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahwa mengantar anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa asli ibunda mereka yang belum pernah terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Di samping itu mereka juga dibekali dengan latihan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Masa pendidikan beliau saat itu terjadi di usianya yang ke dua belas (152 – 164 H).

Sedang dalam keterangan lain Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau juga dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Di kota Ka’bah ini Imam Syafi’i lebih banyak mendalami hadits. Dalam usia yang cukup dini beliau sangat haus akan ilmu pengetahuan. Dengan sifatnya yang seperti itu mengantarkan beliau untuk selalu giat menghafal dan menulis hadits yang diperoleh.

Ketika menerima suatu riwayat, dengan cekatan hadits tersebut ditulis di atas kulit binatang dan juga pada pecahan kendi dengan teliti. Bahkan dirinya seringkali pergi ke kantor pegawai Negara hanya untuk meminta kertas yang tidak terpakai.

Pada era studi di Makkah, Imam Syafi’i sangat pandai memanfaatkan waktu dalam rangka menguasai dialek bahasa Arab. Keinginan ini membuatnya bergumul bersama masyarakat pedesaan.

Pada saat itu, dialek yang beliau dalami adalah dialek kafilah Huzail. Kebanyakan orang arab telah mengakui bahwa diantara sekian bahasa di seantero jazirah Arab, kafilah inilah yang paling fasih bahasanya.

Model pembelajaran dan penguasaan bahasa yang beliau tempuh adalah dengan cara berpartisipasi langsung membaur dengan masyarakat, dan ikut melaksanakan apa yang mereka lakukan.

Di tengah kafilah ini, beliau juga mempelajari teknik memanah dengan tepat. Kepiawaiannya tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan, tapi juga dalam bidang  memanah.

Setelah bergumul dengan masyarakat pedesaan, ia kembali ke tengah masyarakat kota mempelajari adab dan hadits.

Di usianya yang cukup belia, tepat di tahun ke 20 dari hari kelahirannya, beliau diberi wewenang menajadi mufthi di Makkah. Namun kedudukan ini tidak menjadikannya puas, sebab beliau memiliki hasrat yang cukup tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang kemudian mendorong dirinya belajar di luar kota Makkah.

Kebetulan pada saat itu, Imam Syafi’i mendengar ketenaran Malik bin Anas yang dikenal dengan Imam Malik dari kota Madinah. Ulama yang satu ini juga dikenal sebagai ulama shalih yang membukukan hadits dalam kitab Muwatho. Akhirnya beliau memutuskan hijrah ke Madinah belajar kepadanya.

Rihlah Ke Madinah

Berdasarkan adat/kebiasaan studi hadits kala itu, seorang murid harus terlebih dahulu mendapatkan kitabnya, dan kemudian dibacakan kepada sang perawi atau kepada seorang qări (pembaca hadits) yang telah membaca hadits di hadapan sang rawi. Karenanya, Imam Syafi’i meminjam kitab Muwatho dan kemudian menghafalnya secara keseluruhan.

Setelah bertatap muka dengan Imam Malik, Muhammad bin Idris membacakan hadits-hadits yang dihafalnya dalam kitab Muwatho. Beliau juga dapat melafalkannya dengan baik dan fasih. Sampai-sampai Imam Malik tertarik untuk mendengarkan kembali. Karena itu, beliau dapat menamatkan isi kitab tersebut dalam tempo waktu yang cukup singkat.

Di Madinah beliau memanfaatkan waktu luang berbaur dengan beberapa kabilah. Hal ini dilakukan guna menambah wawasan kebahasaan yang telah dikuasainya. Beliau juga tidak lupa untuk berkunjung ke Makkah untuk menjenguk ibundanya sekaligus untuk meminta nasihat.

Setelah berguru selama sembilan tahun di Madinah, Imam Malik meninggal dunia bertepatan dengan tahun 179 Hijriah. Akhirnya Muhammad bin Idris memutuskan kembali ke Makkah.

Di kota ini, kehidupan beliau bersama ibunya sangatlah memprihatinkan. Segala pembiayaan hidup ditanggung sepenuhnya oleh Bait al-Măl, sebab keluarganya tergolong sebagai keturunan Bani Mutholib yang dinyatakan berhak mendapatkan bagian dari Bait al-Măl.

Rihlah ke Yaman

Meski dalam keadaan hidup miskin, beliau tidak ingin selalu bergantung kepada Bait al-Mâl. Beliau memutuskan berniaga di luar kota dengan modal dari hasil penggadaian rumah. Dan daerah yang dipilihnya adalah kota Najran, Yaman.

Dalam proses usaha di Najran, beliau kemudian diangkat menjadi wali kota. Sebagai ulama, beliau bertugas tidak seperti para wali kota lain. Dirinya menjauhkan diri dari sikap para penjilat. Pada saat itu, rata-rata sikap wali kota lebih condong kepada orang-orang yang dekat dengan mereka.

Banyak yang berlaku baik kepada Imam Syafi’i, dengan tujuan agar mendapat tempat di hatinya. Namun hal tersebut dapat ditepis. Di hadapannya, mereka dipandang sama, sehingga keadilan bisa terwujud tanpa memandang golongan.

Karena sikapnya yang konsisten ini, tidak lama setelah tinggal di Najran, beliau difitnah sebagai bagian dari kaum Rafidhah. Yaitu golongan Syiah yang menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin khathab. Kemudian beliau dibelenggu, dan dihadapkan kepada khalifah Harun al-Rasyid di Iraq untuk konfirmasi lebih lanjut.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 Hijriyah atau ditahun ke 34 kelahirannya. Dengan logika yang mantap beliau mengelak dan mengatakan:

“Wahai amĭrul mukminĭn, bagaimana engaku menganggap dua orang laki-laki, yang salah satunya menganggapku sebagai saudara dan satunya lagi sebagai hamba.Manakah yang lebih aku sukai diantara keduanya? Khalifah menjawab: orang yang menganggapmu saudara. Imam Syafi’i berkata: karenanya engkau wahai amĭrul mukminĭm, sesungguhnya kalian putra keturunan Abbas. Mereka (golongan Syiah Rafidhah) adalah putra keturunan Ali, dan kami merupakan bagian dari Bani Muthalib. Engkau semua putra keturunan Abbas menganggap saya sebagai saudara dan mereka menganggap kami sebagai budak.”

Maksud dari orang-orang yang menganggap keturunan Bani Muthalib sebagai budak adalah karena kaum Syiah Rafidhah merasa luhur, dan semua golongan lain berada di bawah mereka. Sehingga timbul anggapan mereka adalah sayid. Lihat karya Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzâhib al-Islamiyah, hal. 430.

Di samping pembelaan dengan alasan yang logis, beliau juga didukung oleh kesaksian Muhammad bin al-Hasan yang kebetulan menjabat di Iraq.

Keduanya sudah saling mengenal, sebab dahulunya Muhammad bin al-Hasan pernah tinggal di Madinah selama tiga tahun menjadi murid Imam Malik.

Dengan hujjah dan kesaksian tersebut, akhirnya Imam Syafi’i bebas dari tuduhan. Fitnah ini akhirnya menginspirasi beliau kembali ke dunia ilmu pengetahun, dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Rihlah ke Iraq

Kemudian beliau tinggal bersama Muhammad bin al-Hasan sebagai ahli fiqih di Iraq, dan berguru kepadanya. Kebetulan Ibnul Hasan ini adalah murid dari dua imam besar, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, dan corak fiqihnya lebih dominan pada aspek rasio.

Karena itu, fiqih Iraq dikenal dengan fiqih ra’yu. Sedangkan fiqih Imam Malik lebih dikenal dengan fiqh hadits. Kepadanya Imam Syafi’i belajar tentang fiqh, qiyas dan juga hadits.

Di daerah ini, beliau sering bertukar pikiran dengan para pakar fiqih. Dan dalam perdebatan, beliau memposisikan diri sebagai murid Imam Malik.

Setelah kurang lebih dua tahun berguru kepada Muhammad bin al-Hasan, akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Makkah.

Di kota ini, beliau mendirikan madzhab pemikiran fiqh dengan membandingkan fiqih Madinah dan Iraq, yang mana kedua kota tersebut pernah menjadi tempat berguru. Di samping itu, beliau juga meletakkan kaidah-kaidah istinbath hukum.

Di sini juga beliau menjelaskan bagaimana seorang mujtahid menggunakan metode istinbath hukum agar terhindar dari kekeliruan.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i untuk memintanya menulis sebuah kitab yang berisi khabar­khabar maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat­ayat al­Qur’an dan lain-­lain.

Atas permintaan ini, beliau pun menyanggupinya dengan menulis salah satu kitab yang terkenal, al-­Risalah.

Setelah sembilan tahun tinggal di kota Ka’bah, beliau kemudian kembali ke Iraq pada tahun 195 H. Di kota seribu satu malam, banyak para pakar terkemuka belajar kepada beliau.

Di antara mereka adalah Muhammad bin Hanbal, Abu Tsaur, al-Husain bin ‘Ali al-Karabisi, dan masih banyak ulama kondang lainnya. Dan pada saat itu, beliau membentuk madzhab pemikiran dengan sebutan Qaul Qadim.

Akan tetapi keberadaannya di Baghdad tidaklah lama, sebab setelah tinggal di Irak selama dua tahun, beliau kembali ke Makkah.

Rihlah Ke Mesir

Ke tiga kalinya, setalah tinggal tinggal di Mekah, beliau memutuskan kembali lagi ke Iraq tahun 198 H. Di Iraq, beliau tinggal selama satu tahun, kemudian pindah ke Mesir tahun 199 H.

Beliau memilih tinggal di Mesir karena beberapa sebab yang mendorong dirinya meninggalkan Iraq.

Diantaranya pertama adalah faktor politik di mana kepemimpinan dipegang oleh khalifah al-Makmun yang lebih dominan condong kepada orang-orang Persia, dan dia juga yang merebut kekuasaan dengan bantuan orang-orang Persia.

Kedua, iraq menjadi pusat pemikiran Mu’tazilah yang disokong oleh khalifah al-makmun. Pada saat inilah terjadi mihnah di mana para ulama dan kaum muslimin harus mengakui kemahlukkan al-Quran. Dan khalifah menerapkan kebijakan tangan besi, tidak sedikit dari para ulama yang mendapat hukuman berat karena bersimpangan dengan pemikiran mu’tazilah. Di antara mereka yang mendapat hukuman adalah Imam Ahmad bin Hambal.  Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzâhib al-Islamiyah, hal. 435.

Di sana beliau bertemu dengan salah satu murid Imam Malik “al-Laits bin Sa’ad”. Sebagai pecinta ilmu pengetahuan, beliau menetapkan madzhab pemikiran baru yang disebut dengan Qaul Jadid. Di Mesir inilah beliau meninggal, dan dimakamkan di usia yang cukup singkat, 54 tahun.

Guru Imam Syafi’i

Banyak sekali guru Imam syafi’i, yang populer diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Muslim bin Khalid al-Zangi (Mufti Makkah era 180 H. (796 M)
  2. Sufyaan bin Uyainah al-Hilaali (Ulama di Makkah)
  3. Ibrahim bin Yahya (Ulama Madinah)
  4. Malik bin Anas (Ulama Madinah)
  5. Wakee’ bin al-Jarraah bin Maleeh (Ulama Kuffah, Iraq)
  6. Muhammad bin Hasan al-Shaibaani (Ulama basrah, iraq. Murid Imam Hanafi)
  7. Hammaad bin Usama al-Haashimi (Ulama Kuffah, Iraq)
  8. Abdul-Wahhab bin Abdul-Majeed (Ulama Basrah, Iraq)

Karya-Karya Imam Syafi’i

Berikut adalah daftar karya Imam Syafi’i:

  1. Al-Risalah al-Qadeemah (Kitaabul-Hujjah)
  2. Al-Risalah al-Jadeedah
  3. Ikhtilaaful-Hadits
  4. Ibtaal-al-Istihsaan
  5. Ahkaam-ul-Qur’an
  6. Biyaadhul-Fardh
  7. Sifatul-al-Amr wal-Nahiy
  8. Ikhtilaaf Malik wal-Syafi’i
  9. Ikhtilaaf-al-Iraqiyeen
  10. Ikhtilaaf Muhammad bin Hasan
  11. Fadha’il Quraish
  12. Kitaabul-Umm
  13. Kitaabus-Sunan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *