Inti Perbedan Hadits Shahih dan Hadits Hasan

Perbedaan hadits shahih dan hadits hasan dapat diketahui dari sisi kriteria pada keduanya.

Suatu hadits masuk dalam jajaran hadits shahih bila sanadnya bersambung, rawinya bersifat adil dan mundhabit, serta hadits tersebut tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat.[1]

Sanad yang bersambung maksudnya silsilah periwayatan hadits yang dimulai dari rawi pertama terus bersambung hingga pada rawi terakhir.

Adil maksudnya semua rawi yang ada dalam sanad memenuhi syarat berikut:

  1. muslim,
  2. baligh,
  3. berakal,
  4. tidak fasik,
  5. tidak rusak muru’ahnya (kehormatan).[2]

Mundhabit artinya rawi mampu menjaga hadits yang ia terima (baik melalui tulisan dengan menjaga teks tanpa ada perubahan, penambahan atau pengurangan, tidak bertentangan denga teks hadits lain yang sejenis, ataupun melalui hapalan yang sangat kuat) serta memahami isinya dengan baik.[3]

Tidak syadz artinya bahwa periwayatan hadits tidak bertentangan dengan rawi lain yang lebih tsiqah (terpercaya).[4]

Tanpa ‘illat maksudnya terhindar dari sebab-sebab yang sangat samar yang sekiranya membuat hadits tersebut dianggap cacat.[5]

Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzătihi dan shahih li ghairihi. Syarat-syarat hadits shahih li dzătihi telah jelas di atas. Sedang hadits shahih li ghairihi mulanya adalah hadits hasan, akan tetapi karena hadits tersebut dibarengi oleh hadits semisal lain yang lebih lebih unggul, atau diriwayatkan oleh banyak rawi yang mengeluarkan hadits sejenis, maka levelnya meningkat meninjadi hadits shahih.[6]

Persyaratan hadits hasan sama halnya dengan persyaratan hadits shahih, bedanya hanya terletak pada segi dhabit tidaknya rawi yang ada dalam rentetan sanad.

Artinya, dalam hadits hasan teradapat sebagian atau semua rawinya kurang menguasai hadits baik melalui tulisan ataupun hapalan.[7]



Senada dengan hadits shahih, hadits hasan juga terbagi menjadi dua yaitu hasan lidzătihi dan hasan li ghairihi. Hadits hasan li dzătihi telah dideskripsikan di atas. Sedang hadits hasan li ghairihi pada dasarnya hadits ini adalah hadits dha’if, namun karena beberapa pertimbangan, akhirnya ia layak dianggap sebagai hadits hasan.

Dengan kata lain, hadits ini awalnya dhaif karena faktor hapalan rawi yang buruk, tidak dikenal identitasnya, atau sang rawi sengaja menyembunyikan kecacatan hadits. Namun karena hadits ini dibantu oleh hadits lain yang senada, semisal maknanya, atau karena banyak yang meriwayatkannya, maka levelnya meningkat menjadi hadits hasan.[8]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti perbedaan hadits shahih dan hadits hasan terletak pada dhabit tidaknya rawi yang ada dalam rentetan sanad.


[1] Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ba’its al-Hatsĭts (Bairut: Dăru al-Kitab, 1994), hal: 28.

[2] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, (Surabaya, al-Hidayah, tt), hal: 34.

[3] Muhammad ‘Ajaz al-Khatib, Ushûl al-Hadits, (Bairut: Dâru al-Fiqr, 1979), hal:232.

[4] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, hal: 34.

[5] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, hal: 35.

[6] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Latîf  fi Ushŭl al-Hadits al-Syarif, (Jeddah: Sahr, 1986), hal: 69.

[7] Muhammad ‘Ajaz al-Khotib, Ushûl al-Hadits, hal: 332.

[8] Fathur rahman, Iktisar Mushthalah al- Hadits, (Bandung: al-Ma’arif, 1974), hal: 136.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *