Penyebutan Istilah dan Pengertian Manusia dalam al-Qur’an

Pengertian Manusia: Pembahasan tentang manusia, sangat luas cakupannya, mulai dari aspek biologis, psikologis, antropologis hingga metafisisnya.

Akan tetapi, manusia dalam pembahasan ini diarahkan pada konteks relasionalnya, baik antar sesama manusia maupun sesama lingkungannya.

Al-Qur’an menyebut manusia menggunakan beberapa istilah, di antaranya adalah basyar, insan dan nas.

M. Quraish Shihab menggolongkan terminologi manusia dalam al-Qur’an menjadi tiga: Pertama, term yang berasal dari akar huruf alif- nun dan sin seperti insan, ins, nas dan unas. Kedua, term basyar. Ketiga, term bani Adam atau zurriyyah Adam[1]

Pertama, kata basyar. Kata ini terdiri atas huruf ba‘, syin dan ra‘ berarti sesuatu yang tampak baik dan indah.[2]

Manusia disebut basyar karena yang tampak adalah kulitnya yang indah yang berbeda dengan binatang.[3]

Kata basyar di dalam al-Qur’an memberi referensi pada manusia bahwa ia adalah makhluk biologis yang sering dikaitkan dengan rutinitasnya, seperti makan, minum, seks, dan usaha pemenuhan kebutuhan biologisnya.

Pengertian manusia yang satu ini tersirat dalam ayat berikut:

(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan,dan meminumdari apa yang kamu minum. (Al-Mukminun: 33)

Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” (Ali Imran: 37)

Kedua, kata insan. Kata ini di dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

  • kata insan yang dikontekskan dengan kata khalifah (pemikul amanah) yang diberi ilmu, diajari dengan pena, al-Qur’an dan al-bayan. Ketika manusia telah mengetahui sesuatu, ia wajib menggunakan inisiatif moral insaninya untuk menciptakan tatanan yang baik; [4]
  • kata insan yang dikaitkan dengan predisposisi negatif, bahwa manusia cenderung lalim (zalam), ingkar (kufr), tergesa-gesa (‘ajul), bakhil (qatur), bodoh (jahul), membantah (jadal), gelisah dan enggan menolong, tidak berterimakasih (kanud), melampaui batas (tagha) dan mengingkari hari akhir;
  • kata insan yang dikaitkan dengan proses penciptaannya, bahwa manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah dan tanah. Dalam term ini, al-Qur’an menjelaskan proses kejadian manusia sama dengan term basyar, di dalamnya terpadu antara unsur basyari dan insani yang seimbang dan proporsional. Secara umum, kata insan menunjuk sifat pasikologis dan spiritual manusia.[5]

Ketiga, kata al-nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial. Bentuk pengertian manusia ini penunjukannya dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

  • menunjuk karakter kelompok sosial, seperti kelompok mukmin, musyrik dan lain-lain. Dalam konteks ini, kata al-Nas sering dikaitkan dengan ungkapan wa min al-nas; (lihat surat Al-Baqarah: 8, 165, 200, 204.)
  • menunjuk kualitas kelompok sosial, seperti rendah, baik dari segi ilmu, keimanan maupun rasa syukur serta lengah. Dalam konteks ini, kata al-Nas sering dikaitkan dengan ungkapan aksar al-nas ; (Al-Nisa: 66, al-A‘raf: 3, 10, Yunus: 92.)
  • menegaskan bahwa petunjuk al-Qur’an tidak hanya untuk manusia secara individu, tetapi juga secara sosial. Dalam konteks ini, kata al-Nas sering dihubungkan dengan petunjuk atau al-Kitab. (Al-Nisa: 170, Ibrahim: 1, al-Nur: 35, al-Hadid: 25.)

Ketiga term tersebut (basyar, insan, nas) menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki tiga aspek, yaitu aspek biologis, pasikologis dan sosial.

Ketika manusia sebagai basyar yang berkaitan dengan unsur materi, secara otomatis manusia tunduk (musayyar) pada takdir Ilahi di alam sebagaimana makhluk lain.

Akan tetapi, ketika manusia berposisi sebagai insan atau nas yang ditiupkan ruh Ilahi dalam dirinya, ia terikat dengan ketentuan tetapi diberi kebebasan untuk tunduk atau melepas dari ikatan (mukhayyar) tersebut.[6]

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Al-Hijr: 28-29)

Ketiga term tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Qur’an, hubungan manusia dengan sesamanya dibangun atas kesadaran primordial yang berasaskan kesamaan, kesatuan (uni lateral) sebagai makhluk Tuhan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia semuanya sama, dan jika terjadi perbedaan kualitas antara satu dan yang lain.

Baca juga:

Hal itu disebabkan faktor ekstern yang mengakibatkan hal tersebut. Kesamaan penciptaan tersebut mengisayaratkan bahwa asal kejadian sesuatu bukan merupakan hal serius yang harus disesali maupun dibanggakan.

Akan tetapi, dampak yang diakibatkan atau hasil yang diperoleh dari asal tersebut yang seharusnya diperhatikan.

Dalam pandangan al-Qur’an, unsur kejadian tidak mempengaruhi penilaian terhadap yang dihasilkan.


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), h. 278.

[2] Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mujam al-Maqayis fi al-Lughah, (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), h. 29.

[3] Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz. 2, h. 113. Dan Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam (Beirut: Dar al-Masyriq,1984), h. 38.

[4] Muhammad Husin al-Taba’ taba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Jumhur al-‘Ilmiyyah, tt), j.1, h. 351.

[5]‘Abbas Muhammad al-‘Aqqad, Al-Insan fi al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub, 1974), h. 381.

[6] Jalaluddin Rahmat, “Konsep-Konsep Antropologis” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (ed.) Budhy Munawar Rachman (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 80.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *