Pengertian Hukum Islam jika diruntut dari kata dasarnya, merupakan perpaduan kata (kata majemuk) yang terdiri dari “hukum” dan “Islam”.
Kedua kata itu secara terpisah, menurut Amir Syarifuddin, sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namum bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur`an, juga tidak ditemukan dalam literatur berbahasa Arab. Karena itu, kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.[1]
Pendapat senada dikemukakan Fathurrahman Jamil yang mengatakan bahwa kata “hukum Islam” tidak ditemukan sama sekalai di dalam Al-Qur`an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam Al-Qur`an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term ‘Islamic Law’ dari literatur Barat.[2]
Guna melengkapi materi pengertian hukum islam, baca juga artikel tentang daftar ayat Ahkam dalam Al-Qur’an
Pengertian Hukum Islam
Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”.
Hukum yaitu “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompak masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau “Syara”, maka “Hukum Islam” akan berarti: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan Sunnah Rasul, atau yang populer dengan sebutan “syari’ah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum.
Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Bila arti sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada pengertian“fiqh”, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab.
Menurut M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum Islam–yang sebenarnya tidak lain daripada fiqh Islam atau syari’at Islam—yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Istilah Hukum Islam—menurut Hasbi—walaupun berlafaz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari fiqh Islam, atau syari’at Islam, yang bersumber kepada Al-Qur`an, Al-Sunnah dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in.[3]
Menurut Mohammad Daud Ali: Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.
Lebih lanjut ia mengatakan: Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
Hubungan-hubungan itu adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya. Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm, jamaknya ahkâm. [4]
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia, baik di bidang ibadah maupun di lapangan mu’amalah.
Kelima jenis kaidah tersebut disebut al-ahkâm al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima, yaitu wajib, mandûb (sunnat), harâm, makruh, dan mubah (ibahah) atau jâ`iz.
Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut juga lima katagori hukum atau lima jenis hukum ini di dalam kepustakaan hukum disebut juga hukum taklîfî, yakni norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, yang disebut jâ`iz, mubah atau ibahah.
Mungkin juga hukum taklifi itu mengandung anjuran untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi pelaku, yang disebut sunnat. Mungkin juga mengandung kaidah yang seyogyanya tidak dilakukan karena jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya (makruh).
Mungkin juga mengandung perintah yang wajib dilakukan, yang disebut fardu atauwajib, dan mengandung larangan untuk dilakukan, yang disebut harâm.
Masing-masing penggolongan, penjenisan dan kategori hukum ini dibagi lagi oleh para ahli hukum Islam ke dalam beberapa bagian yang lebih rinci dengan tolok ukur tertentu yang dapat dipelajari dalam kitab-kitab ilmu usul fikih.
Dalam buku karya Abdul Wahab Khalaf, Usûl al-Fiqh, disebutkan bahwa Hukum islam disebut juga dengan hukum syar’i atau syariat islam, yaitu ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf yang berupa perintah, pilihan, atau secara deklaratori.
Untuk lebih jelasnya, baca kembali artikel yang berjudul Uraian Lengkap Macam-Macam Hukum Islam, Karya Abd Al-Wahhab Khallaf, Usûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, 1968), cet. ke-8. h. 1-50.
Batasan Pengertian
Agar pengertian yang dipaparkan oleh Dr. Abd Al-Wahhab Khallaf di atas menjadi gamblang, simak batasan-batasan definisi yang ia kemukanan di bawah ini.
Hukum syar’i, dengan dibatasinya hukum dengan kata “syari’i” menunjukkan bahwa pembahasan definisi diatas menafikan hukum-hukum lain.
Diantaranya yaitu hukum alam, seperti matahari terbit di barat; hukum rasio, seperti dua adalah setengah dari empat; Hukum tatabahasa, seperti mubtada harus rafa; dan hukum-hukum lainnya.
Khitabullah (ketentuan Allah), yakni ketentuan-ketentuan Allah secara mutlak. Baik disandarkan langsung kepada NYA seperti al-Qur’an, dengan perantara Hadits Rasul, maupun dengan sumber-sumber hukum yang disandarkan kepada keduanya, seperti ijma, qiyas, dan sumber-sumber hukum lainnya.
Hadits, meski bukan kalam Allah, adalah representasi Al-qur’an. Karena hadits tidak lain adalah penjelas al-Quran, membatasi keumuman al-Qur’an, atau bahkan atau bahkan menetapkan hukum yang tidak dibicarakan dalam kitab Allah tersebut.
Hadits menjelaskan bagaimana tata cara shalat. Padahal, Allah hanya memerintahkan mukallaf untuk melaksanakannya melalui al-Qur’an.
Perbuatan, pembatasan definisi pada perbuatan menunjukkan yang dihukumi adalah perbuatannya, bukan bendanya. Khomr (arak) tidak hukumnya. Namun meminum khomr masuk dalam ranah hukum islam. Demikian juga denga pisau, cangkul, linggis, semua itu tidak ada hukumnya, namun menggunakan 3 alat tersebut untuk melukai seseorang barulah ada hukumnya.
Mukallaf, batasan ini menunjukkan bahwa hukum hanya berlaku pada mukallaf. Yaitu orang yang layak mengikuti hukum. Mereka adalah orang baligh dan berakal.
Berdasarkan definisi di atas, hukum islam mencakup pada dua ranah, yaitu hukum wad’i (deklaratori) dan hukum taklifi.
___________
Referensi:
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: LogosWacana Ilmu, 1997), cet. ke-1, jilid I, h. 4.
[2] Fathurrahman Jamil, FilsafatHukum Islam, (Jakarta: LogosWacana Ilmu, 1977), h. 11.
[3] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cet. ke-3, h. 44.
[4] Mohammad Daud Ali, HukumIslam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994), cet. ke-4, h. 38.