Delik Pers ;– Kebanyakan dari kalangan wartawan beranggapan berita yang baik adalah berita yang buruk, sebaliknya berita yang buruk justru berita yang baik.
Maksudnya, berita yang menarik dikalangan para pembaca dan kerap kali menjadi perhatian utama adalah berita seputar kejahatan, kekerasan,dan kekejaman.[1]
Karenanya pers sering mendapat kecaman dari beberapa kalangan.
Mereka mengutuk pemberitaan pers dalam format berita seputar dunia kriminal, dengan dalih bahwa pers dalam tatanan praktisnya terkesan mempromosikan tindak kejahatan ke publik.
Berita semacam itu seringkali menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.
Hak privaci seseorang yang masuk dalam pemberitaan terusik, dan kadang terjadi tindakan yang lazimnya disebut peradilan oleh pers dengan mendistorsi informasi-informasi tertentu.
Pemberitaan seputar kejahatan ini kemungkinan dapat menimbulkan kejahatan pers yang disebut delik pers.
Artinya kejahatan pers ini timbul manakala ia secara sporadis mempublikasikan informasi yang melampaui batas-batas tanggungjawab sebagaimana telah ditentukan oleh hukum yang berlaku di negara.
Prof. Umar Senoadji menyebutkan beberapa delik pers yang berlaku di Indonesia diantaranya:
- delik pers terhadap ketertiban umum;
- delik pers yang bersifat hasutan;
- delik pers penyiaran kabar bohong;
- delik pers yang bersifat penghinaan;
- delik pers yang melanggar susila.[2]
Konsekuensi pemberitaan yang merugikan pihak lain dikelompokkan menjadi dua.
Pertama adalah klachdelict yaitu kejahatan pemberitaan yang berdampak merugikan nama baik seseorang atau individu karena merasa difitnah, dipojokkan, atau dihina.
Baca juga:
1. Pengertian, Fungsi, serta Perbedaan Komunikasi Verbal dan Nonverbal
2. Arti, Ciri-Ciri dan Fungsi Komunikasi Massa
Dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan aduan kepada badan yang bersangkutan / kepada pihak kepolisian.
Kedua adalah persdelict yakni suatu pemberitaan yang dapat merugikan kepentingan umum maupun negara. Dalam hal ini tuntutan dapat diajukan oleh kejaksaan yang mewakili negara atau masyarakat umum.[3]
Untuk menjaga kehati-hatian, wartawan perlu memperhtikan beberapa pasal KUHP yang terkait dengan kerja jurnalistik.
Beberapa pasal yang dapat menjerat wartawan adalah:
- pasal 154 yang menyatakan perasaan kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah di muka umum;
- pasal 156 yang menyatakan permusuhan atau kebencian kepada golongan tertentu di muka umum;
- pasal 171 tentang penyiaran kabar bohong;
- pasal 310 tentang penghinaan;
- pasal 311 tentang fitnah;
- pasal 382 tentang pelanggaran kesusilaan/pornografi.[4]
Ketentuan pertanggungjawaban mengenai berita yang jelas-jelas sangat merugikan pihak tertentu dibebankan oleh badan pers yang bersangkutan.
Yang pasti harus ada satu orang yang ditarik menjadi penanggungjawab pelanggaran atau tindak pidana sesuai dengan ketentuan KUHP seputar kejahatan pers.
Pertama kali yang diadili adalah pemimpin
redaksinya, bila pemimpin redaksi tidak ada atau tidak disebutkan, maka si pemimpin umumnya yang harus menjadi penanggungjawab.[5]
[1] Dr. H.M. Baharun, S.H., Segi-Segi Hukum Kewartawanan, Pasuruan, hlm: 12.
[2] Ermanto, Menjadi Wartawan Handal, Cinta Pena, Jogjakarta, hlm: 165.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Dr. H.M. Baharun, S.H., Op cit, hlm: 17.