Sebagian ahli ada yang membedakan antara etika dan moral. Dalam filsafat, kata “ethos/etika” juga disinonimkan dengan kata moralis.
Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Dengan demikian, yang dihasilkan oleh etika secara langsung bukan kebaikan, melainkan pengertian yang lebih mendasar dan kritis, yang selalu didasarkan pada affirmasi “untuk apa pengertian ini dicari”?
Sementara, moral lebih dekat dengan sebuah ajaran, mulai dari wejangan, khotbah, patokan, kumpulan aturan baik yang berbentuk lisan maupun tulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Inti Perbedaan Etika dan Moral
Jika etika sumbernya dari sikap kritis dari sebuah ajaran, moral bersumber langsung dari orang (orang tua, guru, tokoh masyarakat), tulisan, dan sumber ajaran agama.
Etika bukan merupakan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Dengan demikian, etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran.
Yang mengatakan bahwa, bagaimana manusia harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral.
Etika mau memberikan pengertian dan pandangan mengapa manusia harus mengikuti ajaran moral atau bagaimana manusia dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Moral berasal dari bahasa Latin mos atau moris, yang berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku dan kelakuan. Dalam pengertian sehari-hari kata tersebut dipahami sebagai berikut:
a. Kegiatan manusia yang dipandang dari sisi baik/buruk, benar/salah, tepat dan tidak tepat.
b. Kaidah yang diterima yang menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil dan pantas.
c. Cara seseorang untuk bertingkah laku dalam kaitannya dengan orang lain.
Secara obyektif, moral mempunyai nilai tertentu yang tidak bersyarat dan mutlak, meskipun ia bukan tidak terbatas. Nilai tersebut selalu mengiringi tujuan tertinggi hidup manusia yaitu kebahagiaan. Hukum Ilahi sebagai dasar kekuatan hukum moral kodrat yang mengikat dan tak bersyarat. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), h.672.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral diartikan dengan dua hal:
a. Ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila dan lain-lain,
b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan lain-lain. Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 754.
Dengan demikian, etika bisa dikatakan sebagai “kurang” dan “lebih” ajaran moral.
“Kurang” karena etika tidak berwewenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh, karena wewenang tersebut diklaim oleh kelompok yang memberikan ajaran moral.
“Lebih” karena etika berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu.
Dengan analogi sederhana, ajaran moral seperti buku petunjuk bagaimana cara memperlakukan sepeda motor dengan baik, sementara etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu sendiri.
Baca juga:
- Dasar, Lingkup dan Idealisme Etika Islam
- 2 Intisari Hubungan Manusia dan Alam dalam al-Qur’an
- 4 Kategori Manusia yang Sangat Mengenal Apa Kekurangan Anda
- Etika Memberi dan Menjawab Salam dalam Pergaulan
- 17 Macam Dosa Besar Yang Dilakukan Hati & Anggota Tubuh
Etika dan Moral Manusia
Sebagai makhluk hidup yang bertubuh, berbudi, berjiwa, manusia tidak hanya terkurung dalam tubuhnya sendiri. Ia mampu bertransendensi atas diri dan lingkungan hidupnya.
Dari dimensi ini manusia dapat dilihat dari beberapa aspek di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Sebagai subjek moral
Keunikan manusia yang terletak pada akal budinya menjadikan ia mampu mengambil keputusan dan menentukan dirinya sendiri, sekaligus menjadi tuan atas semua tindakan yang berasal dari dirinya sendiri.
Sebagai subjek moral, manusia adalah subjek hak dan kewajiban karena dialah pemegangnya. Sebagai pemegang hak dan kewajiban, manusia mampu melakukan sesuatu, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
Wan prestasi yang dilakukan manusia, diakibatkan karena mereka terlalu mementingkan dirinya sehingga melupakan kewajiban terhadap yang lain. Kealpaan ini yang akhirnya menjadi sumber konflik dan bencana.
b. Sebagai makhluk menyejarah
Manusia adalah makhluk dinamis, hidup, tumbuh dan berkembang dalam dinamika sejarah. Manusia hidup dalam sejarah, menyejarah dan bahkan menjadi pelaku sejarah yang dapat mempengaruhi manusia lain melalui sejarahnya.
Kesejarahan manusia merentang di antara keberadaan manusia kini dan proses “sedang menjadi”.
Dengan demikian, manusia sebagai citra Ilahi tidak bersifat statis, tetapi dinamis, dinamikanya terletak pada akal budinya.
Manusia sebagai makhluk yang menyejarah, panggilan sejarah atasnya adalah panggilan Tuhan baginya.
Sebagai konsekuensi dalam memberikan penilaian moral terhadap tindakan seseorang, perlu diketahui latar belakang dan sejarah tindakannya.
Dengan demikian, penilaian moral terhadap tindakan seseorang lebih utuh, objektif, dan menyeluruh.
c. Sebagai totalitas
Pandangan terhadap manusia sebagai suatu kesatuan atau totalitas, merupakan titik tolok pandangan moral.
Subjek moral adalah manusia yang integral dan total. Dengan demikian, tindakan manusia harus dipandang sebagai ungkapan kepribadiannya secara totalitas.
Allah memerintahkan Nabi agar menerima sekaligus membai‘at orang yang menyatakan kejujuran dan komitmennya. Hal ini karena mereka dipandang telah menyerahkan dirinya secara totalitas.Lihat surat al-Mumtahnah: 12.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۙ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka.
Tindakan manusia yang disadari dan disengaja mencerminkan kepribadiannya.
Ketika seseorang mengatakan “ya” sebagai “ya” dan “tidak” sebagai “tidak” adalah manusia yang mengungkapkan diri dan kepribadiannya dalam kejujuran yang tulus sebagai cermin dari totalitas kepribadiannya.
Totalitas tersebut harus selalu dipertimbangkan bahwa manusia adalah makhluk yang bertubuh, berjiwa yang memungkinkan pendekatannya melalui pelbagai disiplin ilmu seperti biologi, psikologi, dan antropologi.
Pelbagai sudut pandang pendekatanmanusia tersebut akan membantu manusia untuk mengenali dan memahami kepribadian sesamanya.
Manusia sebagai subjek dan objek moral dapat dinilai dari berbagai dimensi.
Ada yang berangkat dari dimensi empirik biologik yang disebut dengan tindakan manusia (actus hominis).
Ada juga yang berangkat dari dimensi kepribadian dan kemanusiaan yang disebut dengan tindakan manusiawi (actus humanus).
Penilaian moral adalah penilaian manusia sebagai manusia secara utuh yang mengacu pada baik dan buruk perilaku dan perangainya, bukan sebagai pelaku atau peran terbatas.
__________
Referensi:
- Chang,William, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta, Kanisius, 2001.
- Suseno, Franz Magnis-, Etika Dasar , Yogyakarta, Pustaka Filsafat, 1987.