Hubungan manusia dan alam, termasuk segala yang ada di dalamnya, mempunyai kesatuan primordial, yaitu kesatuan kemakhlukan.
Pandangan al-Qur’an terhadap alam bersifat teosentris. Oleh karena itu, posisi manusia dan alam mempunyai kedudukan yang sama sebagai makhluk Tuhan.
Sebagian dari diri manusia juga berasal dari unsur alam, sehingga ia sering disebut sebagai micro cosmos yang mewakili alam besar.
Secara garis besar, hubungan manusia dan alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hubungan struktural dan hubungan fungsional.
Hubungan Struktural
Dalam perspektif ekologis, hubungan manusia dan alam merupakan suatu keniscayaan. Antara manusia dan alam terdapat keterhubungan, keterkaitan, dan keterlibatan timbal balik yang sama dan tidak dapat ditawar.
Hubungan tersebut bersifat dinamis, artinya terjalin secara sadar, terhayati, dan dijadikan sebagai dasar kepribadian manusia itu sendiri.
Sebaliknya, secara ekologis, hubungan manusia dengan alam bukan bersifat statis, artinya keterjalinan antara manusia dengan alam bukan bersifat deterministis yang harus diterima apa adanya, tetapi bersifat sukarela yang harus dipikirkan oleh manusia. Hubungan tersebut juga bukan bersifat verbalistik tanpa makna, tetapi reflektif penuh makna.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalamAl Kitab. (Al-An’am: 38).
Kata umam dalam ayat di atas, bentuk jamak dari kata ummah. Kata tersebut menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik secara sadar, maupun terpaksa. Binatang yang ada di bumi dikategorikan sebagai umam sebagaimana manusia, karena memiliki kesamaan seperti hajat hidup, kebutuhan naluri, dan lain-lain.
Dalam hubungan ini, manusia bukan pemilik lingkungan atau juga sebaliknya. Dengan demikian, ia dituntut berlaku wajar terhadap makhluk sesamanya.
Dilihat dari asal-usul kejadian manusia, ia sebagai makhluk biologis yang memiliki kesamaan dengan makhluk lain yaitu berasal dari air, sebagaimana diisyaratkan oleh beberapa ayat:
- Al-Furqan: 54.
- Al-Anbiya’: 30.
- Al-An‘am: 99.
- Al-Nur: 45.
Kesamaan antara manusia dan alam hanya dalam posisi sebagai karya cipta Ilahi yang tergabung dalam suatu kesatuan ekosistem. Manusia dan alam di samping memiliki kesamaan unsur kejadiannya, juga memiliki kesamaan sikap, yaitu tunduk kepada penciptanya.
Posisi manusia sebagai makhluk, antara manusia dan alam sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut akhirnya membentuk relasi yang niscaya terhadap sesama makhluk untuk memenuhi hajat kehidupannya secara wajar.
Kelebihan yang ada pada manusia tidak difungsikan sebagai hegemonik, tetapi untuk mengatur keseimbangan antara dirinya dan lingkungan untuk mencapai kemakmuran bersama.
Baca juga: Daftar Ayat Harta dan Fungsinya dalam al-Qur’an
Hubungan Fungsional
Dalam pandangan ekologis, relasi struktural memposisikan manusia setara dengan alam atau makhluk lain dalam kemakhlukan. Akan tetapi, hal tersebut pada hakikatnya bukanlah pembatas antara manusia dan alam.
Relasi tersebut hanya merupakan rambu-rambu hubungan antara manusia dan alam untuk menjalin hubungan dalam memanfaatkan alam. Rambu-rambu tersebut untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang difungsikan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam pandangan al-Qur’an, hubungan antara Tuhan dan alam adalah hubungan pencipta-makhluk (khaliq-makhluq). Oleh karena itu, alam dan apa yang ada di dalamnya bersifat teosentris. Segala yang ada di alam berpusat pada kekuasaan dan pengendalian Tuhan, baik secara langsung maupun melalui hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Sementara hubungan manusia dengan alam secara struktur mempunyai hubungan yang setara yaitu sebagai makhluk.
Tuhan memberikan kewenangan kepada manusia sebagai khalifah,disebabkan oleh potensi dan prestasinya.
Kewenangan tersebut untuk mengatur dan memanfaatkan lingkungan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Bumi dan isinya diciptakan oleh Allah untuk kehidupan makhluk-Nya.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. Surat al-Baqarah : 29.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa relasi antara manusia dan alam adalah relasi fungsi bukan hegemoni. Penyerahan bumi kepada manusia bukan berarti penguasaan dan pengkhususan untukmanusia. Pemanfaatan alamoleh manusia juga bukan berarti menghalangi makhluk lain untuk turut memanfaatkannya.
Alam diciptakan oleh Allah agar digunakan, dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia, bukan untuk dikuasai yang menyebabkan manusia berlaku sewenangwenang terhadap lingkungan, seperti mengeksploitasi, merusak, dan lain-lain yang menyebabkan alam kehilangan keseimbangannya.
Kesetaraan posisi kemakhlukan antara manusia dan alam, menjadikan manusia tidak layak bertindak hegemonik, meskipun dalam dirinya terdapat kebebasan, karena kebebasan manusia pada hakikatnya tidak mutlak. Oleh karena itu, penaklukan dan penyerahan alam kepada manusia, sering diisyaratkan sebagai
keterikatan alam dengan hukumnya (taskhir). Dengan demikian, manusia akan mudah menundukkan dan menguasai alam. Sebagai contoh firman Allah dalam surat Ibrahim: 32-33.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَأَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الأنْهَارَ. وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalamorbitnya); dan telah menundukkan bagimu malamdan siang.
Kata sakh-khara ( سخر ) dalam ayat di atas, digunakan oleh al-Qur’an dalam arti penundukan sesuatu agar mudah digunakan oleh pihak lain untuk meraih manfaat. Sesuatu yang ditundukkan oleh Allah tidak lagi memiliki pilihan.
Dengan demikian, manusia yang mengetahui sifat-sifat alam akan dapat menguasainya, karena yang dikuasai tidak akan membangkang.
Allah menundukkan alam kepada manusia secara filosofis dikehendaki dua hal:
- agar manusia tidak tunduk kepada alam karena kelemahannya.
- agar manusia tidak menyerahkan ketundukannya kepada selain Allah, Zat yang menundukkan alam tersebut.
Sungguh tidak terhormat manusia tunduk kepada sesuatu yang telah ditundukkan. Dalam waktu yang bersamaan, manusia ingkar terhadap Yang menundukkan. Sikap ini di dalam agama disebut dengan musyrik yang dikecam keras oleh Allah.
Ketika manusia menyerahkan ketundukannya kepada selain Zat yang menundukkan, penundukan tersebut dipalingkan oleh Tuhan bukan untuk manusia, tetapi murni hanya sebagai reaksi atas kekuasaan Tuhan terhadap alam sebagai makhluk-Nya.
Dalam kondisi ini, yang terjadi di alam bukan lagi memberi manfaat, melainkan sebagai hal yang dianggap merugikan bagi manusia. Firman Allah dalam surat al-Haqqah: 4-8.
كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ. وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ
Kaum Tsamud dan ‘Aad telah mendustakan hari kiamat. Adapun kaum Tsamud maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa, Adapun kaum ‘Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon korma yang telah kosong (lapuk).Maka kamu tidakmelihat seorangpun yang tinggal di antara mereka.
Secara ekologis, sebagian unsur asal usul kejadian manusia berasal dari alam. Dengan demikian, manusia memiliki kesamaan dengan alam, keduanya memiliki sikap pasrah dan ketundukan kepada pencipta (khaliq)nya.
Dalam konteks ini, hubungan antara manusia dan alam, dapat dipetakan menjadi hubungan struktural yang menempatkan kedua belah fihak dalam posisi yang sama dalam kemakhlukan.
Kesamaan unsur dan struktur tersebut tidak menghalangi manusia untuk mengelola dan memanfaatkan alam lingkungan sesuai dengan potensi yang diberikan Tuhan kepadanya.
Penguasaan manusia terhadap alam, bukan penguasaan mutlak. Penguasaan tersebut hanya bersifat nisbi yang digunakan oleh manusia untuk memanfaatkan alam demi kebutuhan dan kemaslahatan hidupnya.
Pemanfaatan alam oleh manusia, tidak menghalangi makhluk lain untuk turut di dalamnya. Dalam konteks ini, hubungan antara manusia dan alam adalah hubungan yang bersifat fungsional, bukan hegemonial.