Wacana pemikiran ekonomi islam, tampaknya mengundang daya tarik tersendiri di kalangan ulama dan cendikiawan muslim.
Mereka memaparkan prinsip ekonomi islam.
Diantaranya uraian M.Quraish Shihab yang menetapkan empat pinsip dalam ekonomi.
Yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.[1]
Untuk memahami prinsip hukum ekonomi dalam islam, maka kita harus menelaah konsep tauhid rububiyah sebagai pondasi acuannya.
Tauhid rububiyah adalah konsep tentang keesaan Allah.
Dengan lantang Ibn Taymiyah menyatakan bahwa semua makhluk Allah menyadarkan diri pada-Nya.
Seraya membutuhkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, serta menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakannya.
Sebab, Dialah tempat manusia meminta dan memohon segala pertolongan-Nya.[2]
Dalam kaitan Allah sebagai sumber segala sesuatu, termasuk dengan kegiatan ekonomi, dengan jeli Abd. Muin Salim melihatnya dari konteks tauhid rububiyah.
Menurut pandangannya, salah satu bentuk konkrit pemeliharaan Allah kepada manusia adalah memberikan rezeki sesuai dengan kadar usahanya.[3]
Pemanfaatan sumber daya manusia dan alam dalam kaitannnya dengan kegiatan ekonomi, pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk memperoleh rezeki dari Allah.
Pemberian rezeki sebagai hasil kegiatan ekonomi oleh Allah kepada manusia, merupakan perwujudan dari sifat rabb atas Tuhan.
Dengan demikian, manusia sebagai makhluk sosio-ekonomik, hanya dapat berjalan dengan baik dan eksis jika makhluk sosio-ekonomi ini diatur dengan aturan yang menempatkan rabb sebagai sumber pelaksanaan fungsi manusia.
Hal ini secara implisit menolak anggapan bahwa sumber hukum ekonomi adalah alam dan manusia serta makhluk lainnya.[4]
Karakteristik Ekonomi Islam
Ekonomi islam berbeda dengan faham ekonomi lainnya, Kapitalisme[5] dan komunisme[6]. Titik tolak perbedaan tersebut terangkunm dalam penjabaran berikut:
1). Nidham Robbani (tunduk pada aturan Tuhan).
Ekonomi islam adalah ekonomi ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya hanya menggapai ridha Allah dan cara-cara yang diimplementasikan tidak bersebrangan dengan syari’at-Nya.[7]
Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.
Manusia muslim berproduksi karena memenuhi perintah Allah, sebagaimana firman-Nya: “Dia-lah yang menjadikan bumi ini mudah bagi mu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya. dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan” (al-Mulk :15)
2). Iqtishad Aqdi ( ekonomi islam berpangkal aqidah)
Ekonomi dalam pandangan islam, bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan kebutuhan bagi manusia dan sarana yang lazim baginya agar bisa hidup dan bekerja untuk menggapai tujuannya yang tinggi.
Ekonomi sebagai sarana penunjang baginya dan menjadi pelayan bagi aqidah dan risalahnya.
Ekonomi adalah bagian dari islam. Ia adalah bagian yang dinamis dan bagian yang penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri peradabannya dan bukan pula cita-cita umatnya.[8]
Dengan prinsip aqidah inilah umat islam membelanjakan hartanya ke jalan yang baik. Tidak bertransaksi dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syara’ seperti jual beli yang berbau riba. Jual beli khmr, narkotika, dll.
Karena dalam lubuk hati umat islam menyakini adanya Allah yang senantiasa mengawasi segala aktivitas dalam kesehariannya.
Sebagaimana dilukiskan dalam firman-Nya. “Dia-lah senantiasa menyertaimu dimana pun kamu berada” (al-Hadid, 4)
Sebagian ideologi, sistem ekonomi internasional selain islam menjadikan makanan sebagai tujuan. Perut sebagai pusat aktifitasnya, dunia sebagai cita-citanya yang paling besar, materi sebagai tiang kehidupannya bahkan penyangga peradaban dan pusat kegiatan filsafat dan pemikirannya.
Sistem islam menganggap penting semua hal tersebut di atas, tetapi hanya sebagai sarana, bukan tujuan, cabang bukan pokok.
Islam mengarahkan cita-cita dan keinginannya yang besar dan kuat pada ketinggian nilai ruhani manusia.
Keterbebasan manusia dari kegelapan materi, dan kerendahan naluri menuju cahaya spiritual, hidayah langit dan alam kehidupan yang tinggi.
3). Kontrol iman sebagai benteng pengawasan internal.
Ekonomi islam yang rabbani adalah pengawasan internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan oleh imam dalam hati seorang muslim, dan menjadikan pengawas bagi dirinya.
Hati nurani seorang muslim tidak akan mengizinkan untuk mengambil yang bukan haknya, memakan harta orang lain dengan cara yang batil, juga tidak memanfaatkan kebutuhan orang yang mendesak, atau memanfaatkan krisis makanan.
Seorang muslim tidak akan memanfaatkan kesempatan untuk meraup milyaran rupiah dari kelaparan orang yang lapar dan penderitaan orang yang menderita.[9]
Sesungguhnya keimanan seorang muslim akan pengawasan Tuhannya menumbuhkan kesadaran akan menjadi pengawas dalam usahanya mendapatkan yang halal dan yang baik, dan menjauhkan dari yang haram dan yang buruk.
Ia senantiasa sedih dan tidak tentram jika dalam perutnya masuk sesuap makanan yang haram.
Karena setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka jilatan api neraka lebih utama baginya.
Di sini, hati nurani mu’min berperan sebagai hakim dan muftinya.
Allah berfirman: “dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang lain, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berdosa, padahal kamu mengetahuinya“. (al-Baqarah: 189)
Bahkan, seorang muslim yang takut dan taqwa pada Allah, akan meninggalkan semua usaha yang meragukan menuju usaha yang tidak meragukan. ia akan menjauhi hal-hal syubhat karena khawatir tergelincir pada yang haram.
4). ekonomi berakhlaq (antara ekonomi dan akhlaq)
Hal yang membedakan antara sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lainnya, adalah bahwa antara ekonomi dan akhlaq tidak pernah terpisah sama sekali seperti halnya tidak terpisahnya sepasang merpati.
Karena risalah islam adalah risalah akhlaq, sehingga Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlaq”.
Kita dapati ekonomi islam sangat berangkulan erat dengan akhlaq.
Kesatuan antara ekonomi dan akhlaq ini akan semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi.
Seorang muslim baik secara pribadi maupun secara bersama-sama, tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya, atau apa yang menguntungkannya saja.
Sesungguhnya setiap muslim terikat oleh iman dan akhlaq pada setiap aktifitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan maupun menginfaqkan hartanya.[10]
Sebagian cendekiawan barat telah memberikan komentar terhadap keistimewaan ekonomi islam.
Bagaimana antara ekonomi dengan akhlaq berpadu, sementara dalam ekonomi kapitalis dan sosialis komunis keduanya dipisahkan?
Penulis perancis, Jack Aster, dalam bukunya “Islam dan Perkembangan ekonomi” berkata: “islam adalah sebuah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlaq yang tinggi. Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. ekonomi yang mengambil kekuatannya dari wahyu al-Qur’n pasti ekonomi yang berakhlaq. Akhlaq ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai, dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat alat industrialisasi”.
5). Iqtishad mutawazin (ekonomi pertengahan).
Diantara nilai-nilai pokok dalam islam, adalah nilai pertengahan atau nilai keseimbangan. Bahkan pertengahan yang adil ini dalam kenyataannya merupakan ruh dari ekonomi islam.
Ciri khas pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh islam antara individu dan masyarakat.
Sistem ekonomi islam tidak menganiaya masyarakat-terutama masyarakat lemah- seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis.
Tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis terutama marxisme. Akan tetapi pertengahan diantara keduanya.[11]
Sebagaimana firman-Nya: “dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman: 7-8)
Ekonomi islam adalah bagian dari sistem islam yang bersifat umum yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil.
Islam menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Di dalam individu diseimbangkan jasmani dan ruhani, antara akal dan hati, antara realita dan fakta.
6). Al-hadaf as-sami (tujuan yang luhur).
Ekonomi islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyari’atkan.
Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan yang rabbani dan sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajiban kepada Tuhannya, kepada dirinya, keluarga, dan kepada manusia sesama.
Pengakuan islam akan kepemilikan pribadi terlegitimasi jika diperoleh melalui cara-cara yang dibenarkan syari’at, serta melaksanakan hak-hak harta.
Islam juga menjaga kepemilikan ini dengan undang-undang dan akhlaqnya.
Diantara makna kemanusian yang paling menonjol dalam ekonomi islam adalah peranannya dalam mewujudkan kehidupan yang baik bagi manusia.
Islam dengan sistem ekonominya telah mendorong manusia untuk bekerja dan aktif berbuat bahkan memandangnya sebagai ibadah dan jihad. Ietapi dibalik aktifitas itu semua terdapat tujuan kemausian, yaitu merealisasikan kehidupan yang baik bagi manusia.[12]
Dalam pandangan islam, kehidupan yang baik terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi satu dengan lainnya, yaitu:
A). Unsur materi dalam kehidupan yang baik.
Untur materi kehidupan adalah unsur yang terkait dengan keadaan manusia dalam menikmati apa yang telah Allah berikan di muka bumi ini, berupa berbagai perhiasan dan hal-hal yang baik.
Tidak mungkin setelah Allah mengeluarkan hal-hal yang baik dan perhiasan itu, kemudian mengharamkannya kepada hamba-hamba-Nya.
Islam juga membolehkan manusia untuk menikmati yang baik-baik dari rizki-Nya, dengan tidak dituntut apapun kecuali berpegang teguh pada aturan yang Allah halalkan, dan menjauhi segala larangannya.
Allah tidak menghalalkan pada manusia, kecuali setiap yang baik, dan ia tidak mengharamkan, kecuali setiap yang kotor. firman-Nya: “mereka bertanya kepadamu: apakah yang dihalalkan bagi mereka? katakanlah: dihalalkan bagimu apa-apa yang baik…” (al-Maa’idah: 4)
B). Unsur spiritual dalam kehidupan yang baik.
Kehidupan yang baik tidak mungkin tercapai hanya semata-mata mengandalkan kehidupan material saja. Bisa jadi seseorang telah memiliki makanan yang enak, minuman yang menyegarkan, pakaian yang megah.
Meskipun demikian, ia belum tentu berhasil mencapai kehidupan yang baik tersebut.
Sesungguhnya landasan kehidupan yang baik adalah ketenangan jiwa, kalapangan dada dan ketentraman hati. faktor inilah yang membuat hidup menjadi indah dan menarik.[13]
7). Ekonomi islam dibangun atas prinsip-prinsip ‘ammah.
Ekonomi islam berkaitan dengan Fiqh mu’amalah, dibangun atas prinsip ‘ammah dan kaidah-kaidah kulliah agar supaya terbuka ruang ijtihad guna merespons dinamika ekonomi yang terus melaju cepat sejalan dengan derasnya perkembangan dan kemajuan teknologi.[14]
Ayat-ayat al-Qur’an yang menguraikan persoalan mu’amalah menginggung prinsip-prinsipnya. Diantaranya:
a) Firman Allah dalam surah an-Nisa’:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b). Firman Allah dalam surah al-baqarah ayat 275
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
at-Thabari mengomentari dalam tafsirnya ayat ini bersifat umum. Lafadz bai‘ pada ayat tersebut umum sehingga ada celah untuk ditakhsis.
Ayat ini ditakhsis oleh dalil-dalil lain mengenai keharaman riba dan akad-akad yang dilarang syara’ seperti, khmr, bangkai dsb.
8). Prinsip persoalan mu’amalah adalah boleh.
Prinsipnya dalam masalah mu’amalah adalah boleh. karena itu, tidak ada larangan untuk bermua’amalah dengan bentuk apa pun melainkan ada nash shareh yang melarangnya.[15]
Hal ini dapat dilihat dengan ayat-ayat al-Qur’an yaitu:
a). Firman Allah dalam surah Yunus ayat 59.
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.
b). Firman Allah dalam surah al-an’am 119.
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
Ibnu Taimiyah mengatakan : Pada prinsipnya tidak diharamkan atas manusia bermu’amalah yang dibutuhkannya kecuali secara jelas diharamkan oleh al-kitab dan as-sunnah.
Sebagaimana tidak disyari’atkan bagi manusia terhadap persoalan ibadah dengan tujuan taqarrub melainkan telah ditunjukkan al-kitab dan as-sunnah. Karena agama adalah apa yang Allah syari’atkan, dan perkara haram apa yang telah Allah haramkan.
8). Fiqh mu’amalah dibangun atas pertimbangan illat dan mashlahah.
Mayoritas ibadah bersifat ta’abbudi, qhairu ma’qulat al-makna (dokmatis, tidak bisa diotak-atik).
Berbeda dengan mu’amalah yang didasarkan atas dasar ma’qulat al-makna, mu’allat bi ‘illat yang dapat diketahui mukallaf.
Imam as-Syatibi mengokohkan bahwa prinsip dalam persoalan ibadah adalah ta’abbudi, tidak mempertimbangkan hikmah, sedangkan prinsip adat (mu’amalah) adalah memperhatikan hikmah.[16]
Mashlahah yang dilegetilimasi syara’ dalam pensyari’atan mu’amalah bermuara pada dharuriah, hajiah, dan tahsiniah.
Prinsip-prinsip mu’amalah merujuk pada hifdz al-mal (perlindungan harta).
Disyari’atkannya akad, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, pesanan dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia dan menjauhkan kesukaran. Diundangkannya mu’amalah tidak terbatas pada pemenuhan dharuriah atau hajiah. Tapi menembus perkara tahsiniyah sehingga syara’ membolehkan pada umat manusia untuk berhias diri, bersolek dan melarang isrof, boros.
Karena hukum-hukum mu’amalah disejalankan dengan mashlahah sebagai tujuan disyariatkannya hukum, maka manakala mashlahah tersebut berubah mesti hukum juga berubah.
Jika tidak seperti itu, maka pasti bertentangan dengan maqasid syariah.
9). Fiqh mu’amalah antara konstan dan elastis.
Hukum-hukum mu’amalah berubah-ubah karena berubahnya mashlahah sebagai acuannya.
Namun, terdapat ketentuan dalam mu’amlah yang berlaku konstan, tidak berubah lantaran perbedaan situasi dan tradisi.
Adalah prinsip-prinsip dasar dalam mu’amalah yang takkan berubah, seperti saling rela (at-tarodhi), keharaman riba, tipu daya dan ihtikar.
Begitu pula, hukum-hukum yang bertalian dengan maqasid syari’ah berupa merealisasikan keadilan, mencegah kedhaliman, dan perlindungan harta bersifat konstan.
Sedangkan hukum-hukum mu’amalah yang berkaitan dengan perantara (al-wasail) atau dibangun atas dasar ijtihad, didasarkan pada ‘urf berubah karena berubahnya wasail (perantara), dan lantaran berubahnya situasi yang mengitarinya.[17]
__________________
Referensi
[1] H.M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung:Mizan,1998), 409
[2] Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim, Majmu Fatawa Syaikh Islam Ibn Taymiyyah, Jld. I, t.t., 22
[3] Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Luqah, Juz VI, (Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t.t.), 90
[4] Umar Shihab, Kontektualitas al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Penamadani, 2003), 300
[5] Sistem kapitalis sangat jelas pada pengkultusan individu, kepentingan pribadi, dan kebebasan yang hampi-hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan dan pembelanjaan harta. Pola pikir kemanfaatan individualistik, yang tidak peduli dengan kepentingan yang lain, apalagi jika bertentangan dengan kepentingan pribadinya. Perhatian utamanya pada persaingan, dengan upaya mengalahkan lawan pesaing.
[6] Ruh sistem komunis tercermin pada pemasungan naluri untuk memiliki dan menjadi kaya. Komunisme memandang kemaslahatan masyarakat , yang diwakili oleh negara, adalah di atas setiap individu.
[7] Muhammad Rawwis qal’ah, Mabahist fi al-Iqtishad al-islami, (Bairut: Dar an-Nafais, 1991), 55
[8] Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami (Mesir: Maktabah Wahbah, 1995). diterjemah Didin Hafidhuddin, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997), 25-28
[9] Ibid., 33-36
[10] Muhammad Rawwis qal’ah, Op. Cit., 56-57
[11] Ibid., 59-60. lihat Yusuf Qardhawi, Op. Cit., 85-86
[12] Ibid., 56
[13] Ibid., 67-80
[14] Muhammad Ustman Syubair, al-Mu’amalah al-Maliah al-Mu’ashiriah fil al-Fiqh al-Islami, (Jordan: Dar an-Nafais, 1996), 16
[15] Ibid., 18-21
[16] Ibid., 21-24
[17] Ibid., 24-25