Cara Menganalisa Kontradiksi Hadits dalam Menggali Hukum Islam

Almursi – Di tengah proses penggalian hukum, tidak semua teks hadits selalu mendukung.

Dalam artian, saling melengkapi dan menopang satu sama lain.

Bisa jadi ditemukan beberapa teks yang bertentangan dalam mengahadapi kasus yang sama.

Karena itu, seorang mujtahid perlu mengambil langkah bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mendapat kepastian hukum.

Kontradiksi Hadits

Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu saya uraikan maksud kontradiksi hadits.

Para pakar hadits menamakannya dengan ikhtilaf al-hadits.

Dr. Mahmud Thahan, berdasarkan aspek bahasa, mengemukakan bahwa ikhtilaf al-hadits yaitu pertentangan makna yang terjadi diantara dua hadits atau lebih.

Menurutnya, ikhtilaf hadits terjadi pada hadits maqbul dengan hadits lain yang sepadan, dan diantara keduanya memungkinkan bisa dikompromi.

Ia mempersempit mukhtalaf al-hadits berkutat pada hadits maqbul belaka.

Oleh karena itu, ranah pembahasan mukhtalaf al-hadits menurutnya adalah hadits shahih dan hasan, dimana keduanya mengalami pertentangan dengan hadits shahih atau hasan lain yang sama-sama kuat, serta memungkinkan dapat dikompromi.[1]

Ada ilmu tersendiri dalam membahas masalah ini. Yaitu ilmu mukhtalaf al-hadist.

Dr. Muhammad A’zaz al-Khatib mendefinisikan bahwa ilmu mukhtalaf al-hadist sebagai ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang secara zhahir mengalami ta’arud (bertentangan), yang kemudian diupayakan dapat dikompromi agar ta’arud tersebut bisa dipecahkan.[2]

Di sini ia tidak mempersempit pembahasan.

Setiap hadits yang sekiranya bertentangan dalam aspek makna, entah hadits tersebut dha’if atau bukan, tetap masuk pada kawasan ikhtilaf al-hadits.

Perbedaan pengertian di atas bukanlah hal yang urgent.

Yang terpenting adalah mengetahui bagaimana langkah yang digunakan dalam mengambil keputusan hukum melalui hadits yang kontradiktif.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam menyikapi hal tersebut.

Pertama, mengkompromikan kedua aspek hadits.

Namun jika tetap tidak memungkinkan, maka meninjau aspek nasikh mansukh.

Akan tetapi, jika tetap tidak dijumpai unsur nasikh mansukh, maka cara berikutnya yang digunakan adalah mentarjih.

Dan bila solusi tarjih ini masih tetap tidak memungkinkan, maka hadits yang bertentangan tersebut dimauqufkan (didiamkan) sampai dijumpai mana yang paling unggul di antara keduanya.[3]

Ahmad Muhammad Syakir menambahkan, makala hadits-hadits yang ta’arud tidak mungkin dikompromikan dengan menggunakan berbagai cara, maka solusinya adalah kembali pada konsep nasikh mansukh.

Namun bila mungkin dapat dijama’ tapi sulit sekali menjumpai titik temu di antara keduanya, maka jalan keluarnya adalah dengan memauqufkan hadits-hadits tersebut sampai jelas mana yang perlu diunggulkan.[4]

Tarjih

Tarjih tidak akan terjadi dalam ta’arud kecuali telah memenuhi berberapa syarat.

Pertama, dalil-dalil yang mengalami ta’arud sama-sama tetap, karenanya antara al-Qur’an dan hadits ahad tidak dianggap ta’arud, sebab al-Quran lebih kokoh dan secara otomatis langsung mengabaikan hadits ahad.

Kedua, terjadi kesamaan hukum di mana kedua aspek yang ta’arud menunjukkan pada waktu, tempat, dan arah yang sama.[5]

Dalam memilah hadits, dijumpai teknik menatarjih yang bisa dilaksanakan terhadap hadits yang bertentangan maknanya.

Teknik tersebut adalah memandang aspek sanad, matan, madlul hadits, serta menilik aspek eksternal hadits yang bersangkutan.[6]

Tarjih melalui telaah sanad mencakup beberapa hal yang harus diperhatikan, diantara:

  1. Bila hadits yang berlawanan kedudukannya sama-sama kuat, maka dilihat siapa yang paling banyak meriwayatkannya. Menurut al-Karakhi, jika cara ini masih tidak memungkinkan maka perlu ditilik siapa rawi yang paling adil. Hal ini ternyata menimbulkan polemik. Bagaimana kalau terdapat hadits yang di satu sisi diriwayatkan orang banyak namun bertentangan dengan hadits yang rawinya lebih adil. Dalam hal ini ulama terpecah menjadi dua golongan, ada yang lebih mengunggulkan banyaknya rawi, ada juga yang lebih mengutamakan keadilan rawi.
  2. Mengunggulkan rawi kabir dari pada rawi shagir. Karena rawi kabir lebih dhabit. Berbeda kalau rawi shagir tersebut sama-sama dhabit atau lebih dhabit daripada rawi kabir.
  3. Lebih mengunggulkan rawi yang faqih dari pada rawi yang non-faqih. Karena rawi yang faqih lebih mengetahui maksud apa yang ditunjukkan oleh lafadz.
  4. Mengunggulkan rawi yang lebih terpercaya.
  5. Mentarjih rawi yang lebih kuat menjaga hadits baik dari aspek hapalannya, maupun catatan hadits yang ia pegang.
  6. Mengunggulkan hadits yang di dalamnya terdapat Khalifah al-Rasyidin.
  7. Lebih mengutamakan hadits yang rawinya adalah orang yang terlibat dalam peristiwa munculnya hadits (shahibul waqi’ah).
  8. Memilih hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang mubasyarah (langsung bertatap muka) ketimbang yang tidak.
  9. Mengutamakan hadits yang rawinya lebih dekat atau lebih banyak bergumul dengan Rasul.
  10. Memilih hadits yang rawinya lebih adil.
  11. Memilih hadits berdasarkan banyaknya jumlah anggapan orang (opini publik) bahwa rawi hadits yang satu lebih adil dari pada rawi lainnya.
  12. Mengunggulkan periwayatan hadits yang sesuai dengan para huffadz al-hadits.
  13. Memilih hadits yang rawinya memiliki hapalan dan pemahaman yang langgeng dan ketika mengeluarkan hadits tidak terjadi pertautan (اخطلاظ) dengan hadits lain.
  14. Mengutamakan periwayatan rawi yang lebih terkenal adil dan tsiqahnya dari pada yang lain.
  15. Mengutamakan haditsnya seseorang yang menyebutkan sabab al-wurûd dari pada yang tidak.
  16. Mengutamakan hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari- Muslim).
  17. Mengunggulkan hadits yang tidak diingkari dari pada hadits yang diingkari oleh rawi atau pakar hadits lainnya.

Sedang jika mentarjih dengan menilik keadaan matan hadits, maka yang perlu dilakukan adalah:

  1. Mendahulukan yang khas dari pada hadits yang bersifat ‘âm.
  2. Memilih hadits yang mengandung makna hakikat dari pada majaz.
  3. Mendahulukan hakikat yang bersifat syar’iyah dan ‘urfiyah dari pada hakikat lugawiyah.
  4. Mendahulukan matan hadits yang dalalahnya tidak tersimpan
  5. Mengutamakan hadits yang dalalahnya menunjukkan pada maksud yang ditinjau dari dua aspek dari pada maksud hadits yang diperoleh dari satu segi.
  6. Memilih hadits yang secara isyarat menunjukkan pada ‘illat hukumnya.
  7. Mendahulukan yang muqayad dari pada hadits yang bersifat muthlaq.

Dalam hal lain, tarjih yang memandang aspek madlul hadits (apa yang dimaksud oleh hadits) adalah sebagai berikut:

  1. Mengutamakan hadits yang menunjukan pada hukum asal atau bara’ah ashliyah (asas kebebasan).
  2. Memilih hadits yang lebih ihtiyat (hati-hati).
  3. Lebih mengunggulkan hadits yang menetapkan pada hal yang manfiy (منفي) dari pada yang tidak.
  4. Mendahulukan hadits yang hukumnya lebih ringan.

Adapun tarjih yang mempertimbangkan perkara eksternal diantaranya adalah:

  1. Mendahulukan hadits yang bersifat Qauli dari pada hadits fi’li.
  2. Mengutamakan hadits yang di dalamnya terdapat penjelasan dari pada yang tidak, seperti membuat perumpamaan/contoh, sebab ibarat hadits ini lebih jelas dari pada hadits yang menggunakan format isyarat.
  3. Mengunggulkan hadits yang lebih banyak diamalkan oleh orang-orang shalih terdahulu (سلف).
  4. Memilih hadits yang lebih sesuai dengan amaliyah Khalifah al-Rasyidin dari pada sahabat lainnya.
  5. Menitikberatkan pada hadits yang sesuai dengan amaliyah penduduk Madinah.
  6. Mengambil hadits yang lebih serupa dengan al-Qur’an secara zhahir.

Dari sekian pemaparan-pemaparan di atas, pelaksanaan proses tarjih tidak bersifat kaku.

Artinya pemilahan ini semuanya dikembalikan kepada olah pikir Mujtahid.

Mereka dapat mencurahkan segala daya nalarnya guna memilah hadits mana yang layak menjadi hujjah.

Di samping itu, masing-masing kalangan, seperti golongan ushûli, memiliki kriteria tertentu terkait dengan masalah tarjih.[7]

Nasikh Mansukh

Pengembalian hadits yang ta’arudh kepada konsep nasikh mansukh didasarkan pada keteguhan dan keyakinan yang kuat.

Dalam hal ini, hadits yang terakhir terjadi tidak lain berperan menghapus hukum hadits yang terdahulu.

Ada beberapa kondisi yang dapat mengantarkan diketahuinya nasikh mansukh dalam hadits.[8] Diantaranya adalah adanya keterangan langsung dari Nabi, seperti:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

     Aku telah melarang kamu semua berziarah kubur, sekarang berziarahlah kamu semua.

Terdapat keterangan sahabat mengenai nasikh mansukh hadits secara langsung, seperti:

كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

      Diantara akhir dua perkara (yang bersebrangan) adalah meninggalkan wudlu setelah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan  api.

Ada juga yang memasukan kasus kontradiksi hadits kepada ranah nasikh mansukh karena melihat aspek historis.

Proses menelaah kontradiksi hadits melalui aspek ini ternyata paling banyak terjadi.

Terakhir, nasikh mansukh hadits dapat diketahui melalui ijma ulama. Artinya, terdapat konsensus ulama mengenai hadits-hadits kontradiktif yang ternyata disepakati masuk dalam ranah nasikh mansukh.

____________________

Referensi

[1] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, (Surabaya, al-Hidayah, tt), hal. 56.
[2] Muhammad ‘Azaz Khatib, Ushûl al-Hadits, (Bairut: Dāru al-Fiqr, 1979), hal.283.
[3] Mahmud Thahan, Taysĭr Musthalah al-Hadits, hal. 58.
[4] Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ba’its al-Hatsĭts (Bairut: Dăru al-Kitab, 1994), hal. 248
[5] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhûl, (Kairo: Dâru al-Salâm, 2006), hal. 778.
[6] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaidu al-Tahdits, (Kairo: Dâru al-Aqidah, 2004), hal. 313.
[7] Ibid. hal. 316.
[8] Untuk lebih lengkapnya baca literatur karangan Muhammad Abu Zahwa, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 1946), hal. 472.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *