Secara sederhana, matan hadits adalah isi atau redaksi dari hadits itu sendiri. Perhatikan contoh hadits Bukhori nomor 135 berikut:
حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنظلي قال أخبرنا عبد الرزاققال أخبرنا معمرعن همام بن منبه أنه سمع أبا هريرة يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ
Keterangan: (Biru: sanad) (Merah: matan)
Perlu diketahui, tidak semua matan hadits dapat menjadi hujjah (dalil), ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi, agar dapat diyakini kebenarannya berasal dari Rasulullah, sehingga layak menjadi pedoman.
Adapun mengenai kriteria kesahihan matan hadis yang ditradisikan oleh para muhadditsîn secara khusus adalah sebagai berikut:
Pertama, al-Khathîb al-Baghdâdî32 (w. 463 H) memberikan kriteria untuk diterimanya sebuah matan hadis dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Suatu khabar âhâd tidak dapat diterima jika terdapat pertentangan dengan hukum akal, hukum Al-Qur’an yang tetap (tsâbit) dan pasti (muhkam), sunnah yang jelas (ma‘lûm), perbuatan yang disepakati sesuai dengan sunnah, dalil yang pasti dan meyakinkan (qath‘î).[1]
Baca juga:
- Inti Perbedan Hadits Shahih dan Hadits Hasan
- Cara Imam Syafi’i Menyikapi Pertentangan Hadits
- Inti Perbedaan Hadits Mutawatir dan Masyhur
- Analisa Hukum Hadits Maqbul dan Mardud
- Daftar Lengkap Aspek Kuantitas dan Kualitas Hadits
Kedua, Abû Bakr bin Furk (w. 406 H.) memberikan kriteria kesahihan matan hadits diketahui dengan terbebas dari:
- adanya kejanggalan, kelemahan dan kerusakan dalam kandungan makna;
- adanya pertentangan dengan kitâb Al-Qur’an, sunnah mutawâtirah atau ijmâ‘ yang qath‘î;
- adanya pertentangan dengan realitas sejarah yang telah dipastikan kebenarannya;
- hadis tidak bersumber dari periwayat yang sangat fanatik terhadap madzhabnya;
- hadis tidak mengandung pahala yang berlebihan atas amalan yang kecil atau siksa yang berlebihan atas dosa kecil;
- suatu hadis tidak hanya diriwayatkan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang seandainya benar terjadi dapat dipastikan akan diketahui oleh masyarakat umum dan diriwayatkan oleh banyak orang.[2]
Ketiga, Mushthafâ as-Sibâ‘î memberikan kaidah-kaidah kritik matan sebagai berikut:
- Matan hadis tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
- Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
- Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlaq.
- Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
- Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
- Tidak mengandung hal-hal yang sudak dipastikan tidak dibenarkan dalam agama.
- Tidak bertentangan dengan hal-hal yang rasional dalam prinsip-prinsip kepercayaan (‘aqîdah) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
- Tidak bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
- Tidak mengandung hal-hal tak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berfikir.
- Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan sunnah yang meyakinkan, atau yang telah menjadi kesepakatan umat (ijmâ‘) yang telah diketahui secara pasti dalam agama yang tidak mengandung kemungkinan takwil.
- Tidak bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi Saw.
- Tidak boleh bersesuaian dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan madzhabnya sendiri.
- Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia, namun periwayat tersebut hanya seorang diri meriwayatkannya.
- Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat periwayat tersebut meriwayatkannya.
- Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara ringan.[3]
Keempat, Shalâh ad-Dîn al-Idlibî, di samping mensyaratkan hadis shahîh sebagaimana kebanyakan ulama, dia memberikan penekanan kepada bentuk matan hadis yang harus:
- Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
- Tidak bertentangan dengan sunnah yang tetap, juga tidak bertentangan dengan sîrah an-nabawiyyah (kisah perjalanan hidup Nabi) yang telah diakui oleh umat.
- Tidak bertentangan dengan akal, bukti empirik dan juga kenyataan sejarah.[4]
Kelima, Musfir ‘Azmullâh ad-Damînî mengemukakan beberapa langkah dan kriteria kritik matan hadits sebagai berikut :
- Memperhadapkan hadis dengan Al-Qur’an.
- Mengkomparasikan antara riwayat yang berbeda berkenaan
- dengan suatu hadis.
- Mengkomparasikan antara hadis dengan sirah nabawiyah.
- Memperhadapkan antara matan hadis dengan realitas sejarah.
- Hadis terhindar dari kejanggalan komposisi kalimatnya.
- Matan hadis tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah dan kaidah-kaidah yang pasti.
- Matan hadis tidak mengandung perintah kepada sesuatu yang mungkar atau sesuatu yang mustahil.[5]
Adapun langkah-langkah para muhadditsîn dalam melakukan kritik matan, menurut al-A‘zhamî, banyak terfokus pada metode mu‘âradhah.[6]
Metode mu’âradhah yang dimaksud adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap terpelihara kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dengan dalil syariat yang lain.
Langkah pencocokan itu dilakukan dengan petunjuk eksplisit Al-Qur’an, sîrah nabawiyyah, pengetahuan kesejarahan, dan penalaran akal sehat.
Versi lain menyebutnya metode muqâranah (perbandingan) atau metode muqâbalah.[7]
[1] Al-Khathîb al-Baghdâdî, Al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1988), h. 432.
[2] Abû Bakr bin Fûrk, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh, (Beirut: Alamal-Kutub, 1985), h.15-16.
[3] Mushthafâ as-Sibâ‘î, As-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî‘ al-Islâmî, (Cairo: Dar as-Salam, 2001), h. 250-251.
[4] Shalah ad-Dîn al-Idlibî, Manhaj Naqd al-Matn, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), h. 238.
[5] Musfir ad-Damînî, Maqâyîs Naqd Mutûn as-Sunnah, (Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud,1984), h. 117-238.
[6] M. Mushthafâ al-A‘zhamî, Manhaj an-Naqd ‘Ind al-Muhadditsîn, (Saudi: Maktabah Al-Kautsar, 1982), h. 50.
[7] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 87.