Etika Mencari Nafkah dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Etika mencari nafkah – Secara esensi, al-Qur’an memandang dunia bersifat teosentris. Relasi etik antara manusia dan Tuhan yang meliputi seluruh cita dan citra Tuhan, harus terrefleksi secara utuh dalam kehidupan manusia. Relasi etik tersebut akan mendasari sikap manusia terhadap alam dan sikap manusia terhadap sesamanya.

Sikap etis Tuhan terhadap makhluk yang harmoni dan seimbang, telah menetapkan kebajikan fundamental yang sangat esensial, yaitu keadilan-Nya. Agama (Islam) menampakkan dirinya sebagai hukum yang mengatur segala aspek kehidupan manusia (muslim), dengan sendirinya Islam juga merupakan suatu kode yang formal dan memaksa.

Islam nampak sebagai legalitas, di mana seorang muslim tidak dapat menghayati agamanya selain “di bawah pandangan Tuhan”.

Sikap manusia yang memisahkan antara spiritual dan duniawi, mendorong orang Islam menghormati hukum moral bukan secara mekanik atau secara lahiriah. Penghormatan tersebut berdasarkan pilihan merdeka yang telah mendorong muslim memahami Islam secara substantif.

Dalam pandangan muslim, Islam lebih besar dari sekadar ideologi, karena Islam merupakan humanisme transendental yang menciptakan masyarakat khusus dan melahirkan tindakan moral yang ideal, legal, dan universal yang mampu mengayomi semua unsur kemakhlukan di bawah “atas nama Tuhan”.[1]

Keharusan manusia menjalin hubungan dengan sesamanya (humanisme) di dalam Islam, tidaklah harus mengesampingkan monoteisme mutlak. Akan tetapi melewatinya lebih dan memberikan kepada manusia keagungan yang sebenarnya dan memungkinkan untuk mengembangkan kebajikannya.

Islam menganjurkan manusia mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual dan mengambil faedah secara wajar dari kekayaan yang diberikan Tuhan.

Islam menetapkan nilai pribadi manusia dan menentukan batas-batasnya serta menetapkan kewajiban yang perlu demi keseimbangan antara pribadi dan masyarakat.

Pembahasan tentang etika harta dalam artikel ini akan melihat sikap etis manusia terhadap harta sebagai manifestasi etis yang mendasari tindakan manusia terhadap sesamanya.

Dalam pembahasan ini, sikap manusia terhadap harta dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu sikap dalam mencari harta, sikap dalam memiliki dan mengatur harta, serta sikap dalam memanfaatkan harta. Pembahasan ketiga sikap tersebut didasarkan pada nilai etis dan filosofis dalam perspektif al-Qur’an.

Baca juga:

Etika Mencari Nafkah

Anjuran dan suruhan al-Qur’an terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab, bukan sekadar perintah bekerja yang hanya menghasilkan materi.

Dalam pandangan al-Qur’an, Mencari nafkah hanya merupakan salah satu bentuk ikhtiyar yang harus dilakukan oleh manusia.

Orientasi yang dituju dari ikhtiyar bukan kerja yang kapitalistik murni yang hanya berorientasi pada pertambahan nilai dari sebuah barang.

Al-Qur’an menghendaki agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekadar materi secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaannya untuk kemaslahatan dalam memenuhi hajat hidup manusia.

Al-Qur’an tidak menyebut objek yang diusahakan manusia secara nomerik dan materi. Al-Qur’an menyebutnya secara konseptual, seperti mal (harta), kanz (simpanan), fadl (keutamaan), rizq (nafkah), mata’ (kesenangan), khazanah (simpanan), ajr (upah), zinah (keindahan), dan lain-lain. Term-term tersebut seluruhnya terformat dalam konsep monotheis etis (tauhid).

Al-Qur’an akan memalingkan objek orientasi manusia dalam mencari materi, jika objek yang ditangkap oleh manusia hanya berorientasi pada kekinian dan kedisinian. Ketika kesadaran manusia terhadap materi hanya terfokus pada orientasi yang dekat (dani’), al-Qur’an memandang kesadaran tersebut secara negatif.

Dalam konteks ini, sering memberikan kesan seolah-olah al-Qur’an tidak merestui usaha manusia terhadap materi.

Al-Qur’an memberikan orientasi melalui piranti-piranti dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.

Keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadapsesama manusia. Piranti-piranti tersebut di antaranya adalah.

A. Melarang manusia bertransaksi yang tidak legal, baik dalam perspektif yuridis maupun etis

Ketika al-Qur’an memerintah mencatat transaksi khususnya dalam hutang piutang, ditegaskan kembali agar tanggung jawab (amanah) yang telah disepakati baik yang dicatat atau yang hanya didasarkan pada jaminan perikatan ditunaikan.[2]

Pengkhianatan terhadap tanggung jawab tersebut diibaratkan seperti orang yang mengendap gangguan hati (as|imun qalbuh). Penetapan legalitas oleh al-Qur’an dalam transaksi, diharapkan dapat menutup bentuk-bentuk kecurangan, khususnya yang berkaitan dengan kejujuran antara kedua pihak. Salah satu bentuk ketidakjujuran adalah menyogok pihak berwenang untuk membuat keputusan yang dapat memberikan legal formal untuk menguasai hak yang bukan haknya.

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah/2: 188)

B. Penyempurnaan timbangan/takaran dalam transaksi

Al-Qur’an memerintahkan sikap etis dalam mencari kekayaan (keuntungan) yang melalui transaksi.

Sikap etis tersebut adalah menyempurnakan timbangan, takaran, dan ukuran sesuai dengan kesepakatan. Timbangan, ukuran, dan takaran semuanya hanya mengacu pada kuantitas. Karena dari kuantitas akan berakhir pada selektifitas kualitas.

Standar kualitas relatif lebih subjektif dari pada standar kuantitas. Standar tersebut sering didasarkan pada perimbangan selera dari pada standar kuantita.

Untuk mencapai nilai etis dalam mencari nafkah, al-Qur’an mengecam kecurangan dalam takaran dan ukuran sekaligus memerintahkan penyempurnaannya.

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (al-Mutaffifin/83: 1-3.)

Al-Qur’an mengecam keras kecurangan dalam transaksi, karena bukan saja merugikan orang lain tetapi juga pelakunya. Pelaku ekonomi ketika melihat kecurangan yang dilakukan mitranya, ia akan mengalihkan kemitraannya kepada orang lain. Hilangnya kemitraan adalah awal dari kehancuran dalam dunia ekonomi.

Dalam interaksi ekonomi, sifat kejujuran melintasi semua sentimen, mulai dari kekerabatan, kesukuan, sampai keagamaan. Orang lebih senang bermitra yang bukan keluarga, suku, bahkan agamanya yang memiliki loyalitas kejujuran yang tinggi, daripada bermitra dengan keluarga, suku, serta agama yang curang.

Kecaman keras al-Qur’an terhadap kecurangan dalam transaksi, karena kecurangan tersebut sering dilakukan terhadap kelompok yang tidak berdaya yang tidak mampu mengalihkan dan mencari mitra yang lebih sehat.

Pelaku ekonomi memiliki kesadaran, bahwa mitra adalah aset dan modal dasar yang utama. Kehilangan mitra, berarti berkurangnya aset.

Perilaku curang yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, akan menjauhkan mitranya, keculai terhadap mitra yang dipandang tidak mampu mengalihkan kemitraannya karena suatu sebab. Dengan demikian, kejahatan dalam kecurangan adalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh orang kuat terhadap orang lemah.

C. Larangan bersistem riba

Secara bahasa, kata “riba” berarti tambahan, pertumbuhan, dan melambung. Sementara menurut istilah fiqih, riba adalah tambahan pada modal uang yang dipinjamkan yang harus ditanggung oleh orang yang berhutang (debitur) sampai jangka waktu peminjaman dengan prosentase yang ditetapkan oleh pemberi hutang (kreditur).

Dari pengertian dasar tersebut, riba yang dikecam oleh al-Qur’an adalah riba yang berkaitan dengan sistem kegiatan ekonomi, sistem tersebut akan berakhir pada hasil.

Dalam perspektif etis, hasil tidak dapat dilihat dan dinilai secara mandiri, karena hasil terikat dengan proses dengan prosentase yang relatif.

Sebelum membahas masalah riba, perlu diasumsikan bahwa Tuhan mensyari’atkan tindakan-tindakan tertentu, bukan sekadar dikerjakan maupun dijauhi yang dibangun di atas keyakinan buta.

Syari‘at tersebut efeknya bersentuhan langsung dengan kehidupan empirik dengan tidak menafikan keyakian terhadapnya secara metafisik. Dengan asumsi tersebut, riba yang dikecam oleh al-Qur’an harus diposisikan sebagai tindakan yang akan merusak citra manusia yang berkaitan dengan mencari nafkah.

Di dalam al-Qur’an, kata riba disebut delapan kali yang terdapat dalam empat surat, yaitu surat al-Rum/30: 39, al-Baqarah/2: 275, 276, 278, 279, Alu ‘Imran/3: 130, dan al-Nisa’/4: 161.

D. Menekankan tanggung jawab (amanah)

Setiap manusia yang lahir, Tuhan telah menentukan nafkah dan modal hidupnya.

Sukses dan tidaknya manusia mendapatkan jaminan Tuhan, tergantung pada kemauan, pengetahuan, usaha, serta momentum yang ada pada diri manusia.

Demi keadilan dan keseimbangan alam, Tuhan memerintahkan manusia untuk mencari dan merebut jaminan tersebut.

Al-Qur’an menekankan sikap tanggung jawab (amanah) manusia dalam mencari nafkah.

Berbicara masalah amanah, tidak lepas dari masalah sosial, baik antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan individu dengan lingkungan.

Keharmonisan dan keberlangsungan hubungan tersebut ditentukan oleh sejauh mana tanggung jawab, kepercayaan (amanah) dapat dipegang oleh semua pihak. Dalam hal ini, amanah akan menjadi kunci kesalihan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

Dalam perspektif al-Qur’an, amanah (trust) adalah asas dan sendi utama dari berbagai bentuk relasi (hubungan).

Dalam istilah agama, kepercayaan tersebut juga disebut iman, baik berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan terhadap alam lingkungan. Amanah akan melahirkan ketenangan, ketenangan akan melahirkan keyakinan.

Oleh karena itu, orang yang tidak ada kepercayaan (iman) sulit diminta pertanggungjawaban (amanah), dan orang yang tidak beragama biasanya sulit dipegang janjinya.

Sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad.

ما خا طبنا نبي صلى الله عليه وسلم الا قال لا ايمان لمن لا امانة له ولادين لمن لاعهد له

….Tidaklah Nabi berbicara kepada kami kecuali beliau berpesan bahwa; tidaklah seseorang itu dikatakan beriman jika ia tidak ada amanah baginya dan tidaklah seseorang itu dikatakan beragama jika tidak ada janji yang dapat ditepati baginya. (H.R. Ahmad)

Ketika seseorang mengikrarkan amantu billah, berarti ia telah memberikan taruhan kepada Allah bahwa apa yang ia lakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya sesuai dengan komitmen yang telah diterima.

Tidaklah mengherankan, kalau di dalam lembaran mata uang Amerika tertuliskan kata-kata yang mengandung filosofis ketuhanan yang tinggi, meskipun manusianya mengingkari Tuhan, yakni “In God We Trust”.

Maksud statemen tersebut adalah kepada Tuhan sajalah kita menaruhkan kepercayaan“. Kata-kata tersebut menjelaskan bahwa jaminan tertinggi yang diberikan Negara kepada masyarakat adalah keagungan nama Tuhan.

Mereka sangat menyadari, bahwa nilai intrinsik yang ada pada selembar kertas yang dibubuhi nominal angka, tidak mampu memberikan jaminan kepercayaan yang sesungguhnya. Nama dan kebesaran Tuhanlah yang mampu memberikan jaminan dalam kehidupan.


[1] Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Terj. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 89.

[2] Hassan Hanafi, IslamWahyu Sekuler, Terj.M. Zaki Husein, (Jakarta: Instad, 2001), h. 50.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *