Artikel ini membahas beberapa kasus pertentangan hadits, akan tetapi setelah ditelaah lebih lanjut ternyata hadits tersebut tidak kontradiktif.
Pertentangan ini akan tampak terjadi jika hadits-hadits tersebut hanya dipandang dari sudut kebahasaan, namun bila dikaji dengan konteks dan menelaah kandungan makna hadits yang dimaksud, maka ditemukan bahwa struktur hadits tersebut tidak berlawanan sama sekali.
Misalnya hadits yang membahas masalah qira’ah shalat. Dalam satu riwayat Umar bin Harits mengatakan bahwa Rasul dalam shalat subuh membaca وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَس (demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya), maksudnya Nabi membaca surat al-Takwir.
Sedang dalam riwayat lain terdapat hadits yang diceritakan oleh Abdullah bin Sa’ib bahwasannya Rasul membaca surat al-Mukminin dalam shalat subuh di Makkah. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Ziyad bin ‘Alaqah yang mana ia mendapatkan keterangan dari pamannya bahwa Rasul membacaوَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ (dan pohon kurma yang tinggi-tinggi), maksudnya surat ق.
Dari hadits-hadits tersebut menurut Imam syafi’I tidak bertentangan, alasannya karena Rasul SAW dalam shalatnya kadang membaca suatu surat kemudian diperhatikan oleh sahabat, demikian juga seeterusnya dalam setiap waktu.
Kemudian mereka meriwayatkan kembali kepada yang lain berdasarkan apa yang diamati oleh mereka pada saat itu. Sehingga timbul bermacam-macam versi sehubungan dengan apa yang mereka perhatikan dari qira’ah Rasul.
Di samping itu dalam pembacaan surat ini tidak ada ketentuan pasti bahwa seseorang wajib membaca surat tertentu setelah al-Fatihah. Di samping itu Allah telah memperkenankan seseorang di dalam shalatnya agar membaca sesuatu yang mudah.[1]
Dalam hadits lain yang tampak bersebrangan adalah riwayat mengenai puasa di tengah perjalanan bagi seorang musafir. Seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:
كنا مع رسول الله زمان غزوة تبوك ، ورسول الله يسير بعد أن أضحى ، إذا هو بجماعة في ظل شجرة فقال : من هذه الجماعة ؟ قالوا : رجل صائم أجهده الصوم ، أو كلمة نحو هذه ، فقال رسول الله : ليس من البر أن تصوموا في السفر.
Kami bersama rasul ketika perang tabuk, dan rasul berjalan setelah menyembelih (hewan), tiba-tiba beliau bersama orang-orang di bawah pohon sambil berkata: “siapakah kelompok ini?” mereka menjawab: “orang-orang yang memaksakan diri berpuasa,” atau dengan menggunakan redaksi yang semisalnya. Kemudian Rasulullah bersabda:”tidak ada baiknya kalian berpuasa dalam perjalanan.”
Sehubungan dengan hadits di atas, terdapat riwayat Jabir bin Abdillah yang dikatakan bahwa ketika tahun pembebasan kota Makkah bertepatan dengan bulan Ramadhan, banyak orang-orang yang berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul saat itu.
Baca juga:
1. Inti Perbedaan Hadits Mutawatir dan Masyhur
2. Analisa Hukum Hadits Maqbul dan Mardud
3. Daftar Lengkap Aspek Kuantitas dan Kualitas Hadits
4. Cara Menganalisa Kontradiksi Hadits dalam Menggali Hukum Islam
5. Daftar Singkat Istilah Hadits
Kemudian ada yang berkata kepada beliau “wahai Rasulallah sesungguhnya puasa sangat memayahkan manusia,” lalu Rasul meminta semangkuk air dan meminumnya, dan banyak kalangan sahabat yang mengikuti beliau, akan tetapi setelah itu terdapat isu yang sampai kepada Rasul bahwa masih ada orang-orang yang tidak mengikuti beliau, akhirnya Rasul bersabda, “mereka itulah orang-orang yang bermaksiat/durhaka.” [2]
Namun dalam versi sebaliknya Anas bin Malik meriwayatkan hadits dengan memberikan keterangan bahwa:
سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فمنا الصائم ومنا المفطر ، فلم يعب الصائم على المفطر ، ولا المفطر على الصائم.
Kami bepergian bersama Rasul, dan diantara kami ada yang berpuasa dan adajuga yang tidak, akan tetapi orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa, demikian pula orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.
Keterangan ini dikuatkan dengan hadits riwayat Hamzah bin Umar al-Aslami, ia berkata kepada Rasul: apakah saya boleh berpuasa dalam perjalanan? Kebetulan ia termasuk orang yang terbiasa berpuasa, lalu Rasul bersabda:
إن شئت فصم ، وإن شئت فأفطر.
jika engkau berkehendak silahkan berpuasa, dan jika engkau tudak ingin berpuasa silahkan berbuka.
Menanggapi perbedaan hadits di atas, Imam Syafi’i mengemukakan bahwa hal tersebut tidaklah bertentangan.
Alasannya bagi orang yang berpuasa dalam perjalan diperkenankan berbuka, sebab ia telah mendapatkan rukhsah atau keringanan untuk berbuka.
Mengenai hadits riwayat Jabir tentang berpuasanya seseorang yang bepergian, hal ini mengandung kemungkinan, yaitu baginya tidak diperkenankan berpuasa karena melihat kondisi fisik yang tampak payah.
Dengan kata lain, bila dia kuat dan mampu melakukannya maka tidak mengapa dia berpuasa.
Menanggapi hadits maksiatnya orang yang berpuasa dalam perjalanan, hal ini dikarenakan mereka tidak mengikuti perintah Rasul. Padahal konteknya puasa pada saat itu jelas sangat memayahkan, dan situasinya dalam ranah penaklukkan kota Makkah.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, jelas bahwa puasa tidak lain adalah rukhsah (keringanan) bagi musafir. Jika ia berkehendak, maka berpuasa. Dan jika tidak, maka tidak mengapa dia meninggalkannya.
Hadits-hadits yang menelurkan keputusan hukum dalam karyanya Ikhtilaf al-hadits tidak sedikit jumlahnya. Dan dalam literatur tersebut banyak beberapa persoalan yang membahas tentang persoalan fiqhiyah.
Akan tetapi dalam hal ini yang perlu menjadi sorotan adalah hadits tampak bertentangan akan tetapi ternyata semuanya dapat dikompromikan. Oleh karena itu Imam Syafi’i tidak memandangnya sebagai hadits yang ta’arud, sebab semuanya dapat digunakan berdasarkan situasi dan konteks yang ada.
[1] Muhammad bin Idris, Ikhtilaf al-Hadits, (Pandeglang: al-Ma’had al-Islami, tt). Hal.16.
[2] Ibid, 20.