Tanggung Jawab Harta,- Al-Qur’an memberikan apresiasi usaha manusia, didasarkan pada asumsi bahwa kehidupan manusia dibangun di atas tanggung jawab yang disebut amanah.
Tanggung jawab yang dimaksud mulai dari yang bersifat biologis hingga fisiologis, dari tanggung jawab individu hingga sosial.
Secara bahasa, kata amanah mempunyai hubungan erat dengan kata iman. Keduanya berasal dari akar huruf alif (ا), mim ( م) dan nun ( ن) yang mengandung arti ketenteraman, keselamatan, keamanan, kepercayaan, dan ketundukan. Genetik kata tersebut akhirnya berubah menjadi bentuk amn, aman, amanah dan amanah.[1]
Bentuk-bentuk derivasi huruf di atas seluruh maknanya menunjuk pada terciptanya ketenangan jiwa, terjauhkan dari ketakutan, serta terjaminnya rasa aman pada seluruh komponen.
Amanah merupakan loko sentral yang akan memberi nilai aktivitas manusia dalam kehidupan. Nilai aktifitas terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia khususnya yang berhubungan dengan mitra kehidupan, baik yang bersifat kolegial (mu‘amalah) maupun patrenial (qarabah). Dalam bentuk kolegial, amanah terformat dalam kejujuran bertransaksi, seperti menunaikan kewajiban yang telah disepakati, tidak mengurangi kesepakatan baik berupa janji maupun timbangan, dan tidak melanggar hak yang bukan kewenangannya.
Pelanggaran tersebut dalam transaksi disimbolkan dengan memakan harta orang lain dengan jalan tidak wajar.
Dalam bentuk patrenial, amanah terformat dalam tanggung jawab kehidupan masa depan kaum kerabat.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Al-Nisa: 9)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Al-Qurtubi mengemukakan beberapa pendapat tentang maksud dan penunjukan ayat tersebut.
- Pertama, ayat tersebut turun untuk orang yang akan berwasiat agar memikirkan anak yatim yang tidak memiliki pusaka. Pusaka yang akan ditinggalkan oleh si mayit, jangan hanya diperuntukkan sanak kerabatnya, melainkan juga harus dipikirkan nasib anak yatim yang tidak memiliki jaminan masa depan.
- Kedua, pesan ayat di atas bersifat umum, agar manusia bertaqwa sehingga terhindar dari perbuatan dzalim terhadap anak yatim sebagaimana terhindar dari perbuatan dalim terhadap anak sendiri.
- Ketiga, ayat tersebut secara kronologis turun ketika seseorang akan menghadapi sakarat maut, lalu orang yang ada di sekelilingnya menganjurkan agar si sakit mewasiatkan seluruh hartanya untuk diserahkan (diinfaqkan) tanpa memperhitungkan bagian dan nasib anak kerabatnya.
Mayoritas mufassir memilih opsi ketiga sebagai kronologis turunnya ayat tersebut. Ayat tersebut seolah-olah melarang atau setidaknya menasihati mereka yang hadir pada orang yang akan meninggal, agar jangan menasihati orang tersebut untuk menyerahkan seluruh harta peninggalannya dan tidak meninggalkan untuk anaknya. Orang yang hadir hendaknya membayangkan bagaimana sekiranya yang akan meninggal itu dirinya, lalu anak keturunannya nanti tidak memiliki jaminan masa depannya. Jika kondisi ini terjadi pada dirinya, akankah ia meminta nasihat seperti yang ia nasihatkan?[2]
Baca juga:
- Etika Mencari Nafkah dalam Al-Qur’an dan Sunnah
- Penyebutan Istilah dan Pengertian Manusia dalam al-Qur’an
- Uraian Logis Perbedaan Etika dan Moral Manusia
- Dasar, Lingkup dan Idealisme Etika Islam
- 2 Intisari Hubungan Manusia dan Alam dalam al-Qur’an
Perhatian al-Qur’an terhadap tanggung jawab harta sangat besar. Al-Qur’an mengecam sikap orang kaya yang kikir yang enggan membelanjakan hartanya. Al-Qur’an melarang bersikap boros dalam membagi dan menyalurkan harta, meskipun dalam jalan kebaikan, terlebih dalam jalan kedzaliman.
Hal
ini untuk memberikan kepastian masa depan anak keturunan. Al-Qur’an juga
mengecam orang yang memenuhi tanggung jawabnya hanya mengharap dari pemberian
orang lain. Kecaman tersebut kalaupun tidak disampaikan dengan redaksi yang
keras, setidaknya diposisikan sebagai sikap yang tidak memiliki harga diri.
Sikap tersebut ditams|ilkan dengan tangan yang berada di bawah, yang hanya
dapat menengadah menunggu uluran tangan lain yang sesamanya.
[1] Abi al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakaria, Mu‘jam al-Maqayis fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 89.
[2] Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, (Dar al-Qalam, 1966), cet. 3, juz. 2, h. 358.